Matahari tampak akan tenggelam, angin
pun bertiup sepoi-sepoi di sekitar pepohonan. Harum semerbak mulai
memenuhi mihrab Maryam. Bau itu menembus jendela mihrab dan mengepakkan
sayapnya di sekeliling gadis perawan yang khusuk dalam salat tanpa
seorang pun mendengar suaranya. Maryam merasa bahwa udara dipenuhi
dengan bau harum yang mengagumkan. Ia kembali melakukan salatnya dengan
khusuk dan mengungkapkan syukur kepadaAllahSWT.
Seekor burung hinggap di jendela
mihrab. Ia mengangkat paruhnya ke atas dan mengarahkan ke matahari
serta mengepakkan kedua sayapnya lalu ia terjun ke air dan mandi di
dalamnya. Kemudian ia terbang ringan di sekitamya. Maryam ingat bahwa
beliau lupa untuk menyirami pohon mawar yang tumbuh secara tiba-tiba di
tengah dua batu yang tumbuh di luar mesjid. Maryam menyelesaikan
salatnya lalu ia keluar dari mihrab dan menuju pohon. Belum selesai
beliau siap-siap untuk keluar sehingga para malaikat memanggilnya:
“Hai Maryam,
sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan
kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” (QS. Ali
‘Imran: 42)
Maryam berhenti dan tampak
wajahnya yang pucat dan semakin bertambah. Mihrab itu dipenuhi dengan
kalimat-kalimat para malaikat yang memancarkan cahaya. Maryam merasa
bahwa pada hari-hari terakhir terdapat perubahan pada suasana ruhaninya
dan fisiknya. Di tempat itu tidak terdapat cermin sehingga ia tidak
dapat melihat perubahan itu. Tetapi ia merasa bahwa darah, kekuatan dan
masa mudanya mulai meninggalkan tempatnya dan digantikan dengan kesucian
dan kekuatan yang lebih banyak. Beliau menyadari bahwa ia sedang gugup.
Beliau merasakan kelemahan manusiawi dan adanya kekuatan yang luar
biasa. Setiap kali tubuhnya merasakan kelemahan, maka bertambahlah
kekuatan dalam ruhnya. Perasaan yang demikian ini justru membangkitkan
kerendahan hatinya. Maryam mengetahui bahwa ia akan memikul tanggung
jawab besar.
“Dan
(ingatlah) ketika malaikat (Jibril) berkata: ‘Hai Maryam, sesungguhnya
Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas
segala wanita di dunia (yong semasa dengan kamu).” (QS. Ali ‘Imran: 42)
Dengan kalimat-kalimat yang
sederhana ini Maryam memahami bahwa Allah SWT telah memilihnya dan
menyucikannya dan menjadikannya penghulu para wanita dunia. Beliau
adalah wanita terbesar di dunia. Para malaikat kembali berkata kepada
Maryam:
“Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orangyang ruku.” (QS. Ali ‘Imran: 43)
Perintah tersebut ditetapkan
setelah adanya berita gembira agar beliau meningkatkan kekhusukannya,
sujudnya, dan rukuknya kepada Allah SWT. Maryam lupa terhadap pohon
mawar dan beliau kembali salat. Maryam merasakan bahwa sesuatu yang
besar akan akan terjadi padanya. Beliau merasakan hal itu sejak beberapa
hari, tetapi perasaan itu semakin menguat saat ini.
Matahari meninggalkan tempat
tidurnya sementara malam telah bangkit sedangkan bulan duduk di atas
singgasananya di langit dan di sekelilingnya terdapat awan-awan yang
indah dan putih. Kemudian datanglah pertengahan malam dan Maryam masih
sibuk dalam salatnya. Beliau menyelesaikan salatnya dan teringat pohon
mawar itu lalu beliau membawa air di suatu bejana dan pergi untuk
menyiramnya.
Pohon mawar itu tumbuh di antara
dua batu di tempat yang tidak jauh dari mesjid yang hanya ditempuh
beberapa langkah darinya. Tempat itu jauh dari jangkauan manusia
sehingga tak seorang pun mendekatinya. Tempat itu sudah dijadikan tempat
yang khusus bagi Maryam untuk melakukan salat di dalamnya atau
beribadah. Maryam mendekati pohon mawar itu dan menyiramnya. lalu beliau
meletakkan bejana, kemudian ia memikirkan pohon mawar itu di mana
tangkainya semakin panjang pada dua malam yang dilaluinya.
Tiba-tiba, Maryam mendengar
suara derap kaki yang mengguncang bumi. Beliau tidak mendengar suara
kaki yang berjalan, tetapi beliau mendengar suara kaki yang menetap di
atas batu serta pasir. Maryam merasakan ketakutan. Ia merasakan bahwa ia
tidak sendirian. Ia menoleh ke sebelahnya namun ia tidak mendapati
sesuatu pun. Kemudian kedua matanya mulai berputar-putar dan
memperhatikan suatu cahaya yang berdiri di sana. Maryam gemetar
ketakutan dan menundukkan kepalanya. Maryam berkata dalam dirinya, siapa
gerangan orang yang berdiri di sana. Maryam memandang kepada wajah
orang asing itu, dan menyebabkan ia gelisah. Wajah orang itu sangat
aneh, di mana dahinya bercahaya lebih daripada cahaya bulan. Meskipun
kedua matanya memancarkan kemuliaan dan kebesaran tetapi wajah orang itu
justru menggambarkan kerendahan hati yang mengagumkan.
Pandangan pertama yang dilihat
oleh Maryam kepada orang itu mengisyaratkan, bahwa orang itu memiliki
kemuliaan yang diperoleh orang yang menyembah Allah SWT selama julaan
tahun. Maryam bertanya kepada dirinya, siapa gerangan orang ini?
Kemudian seakan-akan orang asing itu membaca pikiran Maryam dan berkata:
“Salam kepadamu wahai Maryam.” Maryam dibuat terkejut mendengar adanya
suara manusia di depannya. Maryam berkata sebelum menjawab salamnya:
“Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.” (QS. Maryam: 18)
Maryam berlindung di bawah lindungan Allah SWT dan ia bertanya kepadanya, “Apakah engkau manusia yang mengenal Allah SWT dan bertakwa kepadanya?” Kemudian orang itu tersenyum dan berkata:
“Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” (QS. Maryam: 19)
Orang asing itu belum selesai
menyampaikan kalimatnya sehingga tempat itu dipenuhi cahaya yang
menakjubkan yang tidak menyerupai cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya
lampu, cahaya lilin bahkan cahaya api. Di sana terdapat cahaya yang
sangat jernih. Kemudian terngianglah di kepala Maryam kalimat: “Aku adalah seorang utusan Tuhanmu.” Kalau begitu, dia adalah penghulu para malaikat, Ruhul Amin (Jibril) yang telah berubah wujud menjadi manusia.
Maryam mengangkat kepalanya
dengan gemetar menahan luapan cinta. Jibril berdiri di depannya dalam
bentuk manusia. Maryam memperhatikan kejernihan dahinya dan kesucian
wajahnya. Benar apa yang diduganya bahwa Jibril memiliki kemuliaan yang
diperoleh orang yang menyembah Allah SWT selama jutaan tahun. Kemudian
Maryam mengingat kembali kalimat-kalimat yang diucapkan Jibril. Malaikat
itu telah mengatakan bahwa ia adalah utusan Tuhannya, dan ia telah
datang untuk memberi Maryam seorang anak laki-laki yang suci. Maryam
ingat bahwa dirinya adalah seorang perawan yang belum tersentuh oleh
seorang pun. Ia belum menikah dan belum dilamar oleh seseorang pun, maka
bagaimana ia melahirkan anak tanpa melalui pernikahan. Pikiran-pikiran
ini berputar-berputar di kepala Maryam lalu ia berkata kepada Jibril:
“Maryam
berkata: Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak
pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula)
seorangpezina!” (QS. Maryam: 20)
Jibril berkata:
“Demikianlah
Tuhanmu berfirman: ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami
menjadikannya suatu tanda bagi manusia sebagai rahmat dari Kami; dan hal
itu adalah suatu perkara yang sudah diputushan.“‘ (QS. Maryam: 21)
Maryam menerima kalimat-kalimat
Jibril. Tidakkah Jibril berkata kepadanya bahwa ini adalah perintah
Allah SWT dan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya pasti akan
terlaksana. Kemudian, mengapa ia harus (ketika) melahirkan tanpa
disentuh oleh seorang manusia pun. Bukankah Allah SWT mendptakan Nabi
Adam tanpa seorang ayah dan seorang ibu? Sebelum diciptakannya Nabi Adam
tidak ada pria dan wanita. Hawa diciptakan dari Nabi Adam dan ia pun
diciptakan dari laki-laki, tanpa perempuan.
Biasanya manusia diciptakan
melalui pasangan laki-laki dan perempuan; biasanya ia memiliki ayah dan
ibu, tetapi mukjizat terjadi ketika Allah SWT menginginkannya untuk
terjadi. Kemudian Jibril meneruskan pembicaraannya:
“Sesungguhnya
Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran searangputra yang
didptakan) dengan kalimat (yang datang) dari-Nya, namanya al-Masih Isa
putra Maryam, seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat dan
termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara
dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk di
antara orang-orang yang saleh.” (QS. Ali ‘Imran: 45-46)
Keheranan Maryam semakian
bertambah. Betapa tidak, sebelum mengandung anak itu di perutnya ia
telahmengetahui namanya. Bahkan ia menhetahui bahwa anaknya itu akan
berbicara dengan manusia saat ia masih kecil. Sebelum Maryam menggerakan
lisannya untuk melontarkan pertanyaan lain, Jibril mengangkat tangannya
dan mengerahkan udara ke arah Maryam. Kemudian datanglah hembusan udara
yang bercahaya yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh Maryam. Lalu
cahaya tersebut ke jasad Maryam dan memenuhinya. Tak sempat Maryam
melontarkan pertanyaan yang lain, Jibril yang suci telah pergi tanpa
meninggalkan suara.
Udara yang dingin telah bergerak
dan Maryam pun tampak menggigil. Maryam segera kembali ke mihrabnya. Ia
menutup pintu mihrab dan ia tenggelam dalam salat yang khusuk dan ia
pun menangis. Maryam merasakan kegembiraan, kebingungan dan kegoncangan
serta kedamaian yang dalam. Kini, Maryam tidak lagi sendirian. Sejak
Jibril meninggalkannya, ia merasakan bahwa ia tidak lagi sendirian. Ia
menggerakkan tangannya yang dipenuhi dengan cahaya, kemudian cahaya ini
berubah di dalam perutnya menjadi anak, seorang anak yang akan menjadi
kalimat Allah SWT dan ruh-Nya yang diletakkan pada Maryam. Ketika anak
itu besar, ia akan menjadi seorang rasul dan nabi yang ajarannya
dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang.
Maryam di malam itu tidur dengan
nyenyak dan ia bangun di waktu Subuh. Belum lama ia membuka kedua
matanya sehingga ia dibuat terkejut ketika melihat mihrab dipenuhi
dengan buah-buahan yang sebenarnya tidak lagi musim. Maryam heran
melihat hal itu. Ia mulai mengingat apa yang telah terjadi padanya
kemarin, yaitu bagaimana kejadian saat menyiram pohon mawar, bagaimana
pertemuannya dengan malaikat Jibril, bagaimana Allah SWT meniupkan
kalimat-Nya padanya, bagaimana ia kembali ke mihrab, dan bagaimana
tidurnya yang nyenyak. Maryam berkata kepada dirinya sambil melihat
buah-buahan yang banyak: Apakah aku akan memakan sendirian buah-buahan
ini. Kemudian ada suara dalam dirinya yang berkata: “Engkau tidak lagi sendirian wahai Maryam. Kini, engkau bersama Isa. Engkau harus makan dengan baik." Dan Maryam mulai makan.
Lalu berlalulah hari demi hari.
Kandungan Maryam berbeda dengan kandungan umumnya wanita. Ia tidak
merasakan sakit dan tidak merasa berat; ia tidak merasakan sesuatu telah
bertambah padanya dan perutnya tidak membuncit seperti umumnya wanita.
Alhasil, kehamilan yang dialaminya dipenuhi dengan nikmat yang baik.
Datanglah bulan yang kesembilan. Ada sebagian ulama yang mengatakan
bahwa Maryam tidak mengandung Isa selama sembilan bulan, tetapi ia
melahirkannya secara langsung sebagai mukjizat.
Pada suatu hari, Maryam keluar
ke suatu tempat yang jauh. Ia merasa bahwa sesuatu akan terjadi hari
itu. Tetapi ia tidak mengetahui hakikat sesuatu itu. Kakinya
membimbingnya untuk menuju tempat yang dipenuhi dengan pohon kurma.
Tempat itu tidak biasa dikunjungi oleh seseorang pun karena saking
jauhnya; tempat yang tidak diketahui oleh seseorang pun kecuali Maryam.
Tak seorang pun yang mengetahui
Maryam bahwa sedang hamil dan ia akan melahirkan. Mihrab yang menjadi
tempat ibadahnya selalu tertutup. Orang-orang mengetahui bahwa Maryam
sedang sibuk beribadah dan tidak ada seorang pun yang mendekatinya.
Maryam duduk beristirahat di bawah pohon kurma yang besar dan tinggi.
Maryam mulai merasakan sakit pada dirinya, dan rasa sakit tersebut
semakin terasa. Akhirnya, Maryam melahirkan:
“Maka rasa
sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon
kurma, ia berkata: ‘Aduhai alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan
aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” (QS. Maryam:
23)
Rasa sakit saat melahirkan anak
yang dialami wanita suci ini menimbulkan penderitaan-penderitaan lain
yang segera menantinya. Bagaimana manusia akan menyambut anaknya ini?
Apa yang mereka katakan tentangnya? Bukankah mereka mengetahui bahwa ia
adalah wanita yang masih perawan? Bagaimana seorang gadis perawan bisa
melahirkan? Apakah manusia akan membenarkan Maryam yang melahirkan anak
itu tanpa ada seseorang pun yang menyentuhnya? Kemudian
pandangan-pandangan keraguan mulai menyelimutinya. Maryam berpikir
bagaimana reaksi manusia kepadanya dan bagaimana perkataan mereka
terhadapnya sehingga hatinya dipenuhi dengan kesedihan. Belum lama
Maryam membayangkan dan meminta agar ia dimatikan dan dilupakan,
tiba-tiba anak yang baru lahir itu memanggilnya:
“Janganlah
kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di
bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon
itu ahan mengugurkan buah kurma yang masak kepadamu makan, minum dan
bersenang hatilah kamu. Jika kamu rnelihat seorang manusia, maka
katakantah: ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun
pada hari ini.’” (QS. Maryam: 24-26)
Maryam melihat al-Masih yang
tampan wajahnya. Wajahnya tidak kemerah-merahan dan rambutnya tidak
keriting seperti anak-anak yang lahir di saat itu, tetapi ia berkulit
lembut dan putih. Anak itu diselimuti dengan kesucian dan kasih sayang;
anak itu berbicara kepada Maryam agar ia menghilangkan kesedihannya dan
meminta padanya agar menggoyangkan batang-batang pohon kurma supaya
jatuh darinya sebagian buahnya yang lezat dan Maryam dapat memakan dan
meminum darinya sehingga hatinya pun penuh dengan kedamaian serta
kegembiraan dan tidak berpikir tentang sesuatu pun. Jika Maryam melihat
atau menemui manusia, maka hendaklah ia berkata kepada mereka bahwa ia
bernazar kepada Allah SWT untuk berpuasa dan tidak berbicara kepada
seseorang pun.
Maryam melihat al-Masih dengan
penuh kecintaan. Anak itu baru dilahirkan beberapa saat tetapi ia
langsung memikul tanggung jawab ibunya di atas pundaknya. Selanjutnya,
ia akan memikul penderitaan orang-orang fakir. Maryam melihat bahwa
wajah anak itu menyiratkan tanda yang sangat aneh. Yaitu tanda yang
mengisyaratkan bahwa ia datang ke dunia bukan untuk mengambil darinya
sesuatu, tetapi untuk memberinya segala sesuatu. Maryam mengulurkan
tangannya ke pohon kurma yang besar. Belum lama ia menyentuh batangnya
hingga jatuhlah darinya buah kurma yang masih muda dan lezat. Maryam
makan dan minum dan kemudian ia memangku anaknya dengan penuh kasih
sayang.
Saat itu, Maryam merasakan
kegoncangan yang hebat. Silih-berganti ketenangan dan kegelisahan
menghampirinya. Segala pikirannya tertuju pada satu hal, yaitu Isa. Ia
bertanya-tanya dalam dirinya: Bagaimana orang-orang Yahudi akan
menyambutnya, apa yang akan mereka katakan tentangnya, apa yang akan
mereka katakan terhadap Maryam, apakah para pendeta dan para pembesar
Yahudi percaya bahwa Maryam melahirkan seorang anak tanpa disentuh oleh
seseorang pun? Bukankah mereka terbiasa hidup dengan suasana pencurian
dan penipuan? Apakah seseorang di antara mereka akan percaya—padahal ia
jauh dari langit—bahwa langit telah memberinya seseorang anak.
Akhirnya, masa pengasingan
Maryam telah berakhir dan Maryam harus kembali ke kaumnya. Maryam
kembali dan waktu menunjukkan Ashar. Pasar besar yang terletak di jalan
yang dilalui Maryam menuju mesjid dipenuhi dengan manusia. Mereka sibuk
dengan jual-beli. Mereka duduk berbincang-bincang sambil minum anggur.
Belum lama Maryam melewati pasar itu sehingga manusia melihatnya membawa
seorang anak kecil yang didekapnya. Salah seorang bertanya: “Bukankah ini Maryam yang masih perawan? Lalu, anak siapa yang dibawanya itu?” Seorang yang mabuk berkata: “Itu adalah anaknya.” Mari
kita dengar cerita apa yang akan disampaikannya. Akhirnya, orang-orang
Yahudi mulai “mengepung” dengan berbagai macam pertanyaan: “Anak
siapa ini wahai Maryam, mengapa engkau tidak mengembalikannya, apakah
itu memang anakmu, bagaimana engkau datang dengan membawa seorang anak
sedangkan engkau adalah gadis yang masih perawan?”
“Hai saudara
perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan
ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.” (QS. Maryam: 28)
Maryam dituduh melakukan
pelacuran. Mereka menyerang Maryam tanpa terlebih dahulu mendengarkan
sanggahannya atau mengadakan penelitian atau membuktikan bahwa perkataan
mereka memang benar. Maryam dicerca sana-sini dan ia diingatkan, bahwa
bukankah ia seseorang yang tumbuh dari rumah yang baik dan bukanlah
ibunya seorang pelacur? Lalu mengapa semua ini terjadi padanya?
Menghadapi semua tuduhan itu, Maryam tampak tenang dan tetap menunjukkan
kebaikannya. Wajahnya dipenuhi dengan cahaya keyakinan. Ketika
pertanyaan semakin menjadi-jadi dan keadaan semakin sulit, maka Maryam
menyerahkan segalanya kepada Allah SWT. Ia menunjuk ke arah anaknya
dengan tangannya. Maryam menunjuk Isa.
Orang-orang yang ada di situ
tampak kebingungan. Mereka memahami bahwa Maryam berpuasa dari berbicara
dan meminta kepada mereka agar bertanya kepada anak itu. Para pembesar
Yahudi bertanya: “Bagaimana mereka akan
melontarkan pertanyaan kepada seorang anak kecil yang baru lahir
beberapa hari? Apakah anak itu akan berbicara di buaiannya” Mereka berkata kepada Maryam:
“Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?” (QS. Maryam: 29)
Berkata Isa:
“Sesungguhnya
aku ini hamba Allah, Dia memberiku al-Kitab (injil) dan Dia menjadikan
aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana
saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan
(menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia
tidak menjadikanku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan
semoga dilimpahkan kepadahu, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku
meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. ” (QS. Maryam:
30-33)
Belum sampai Isa menuntaskan
pembicaraannya sehingga wajah-wajah para pendeta dari kalangan Yahudi
dan para uskup tampak pucat. Mereka menyaksikan mukjizat terjadi di
depan mereka secara langsung. Anak kecil itu berbicara di buaiannya;
anak kecil yang datang tanpa seorang ayah; anak kecil yang mengatakan
bahwa Allah SWT telah memberinya al-Kitab dan menjadikannya seorang
Nabi. Ini berarti bahwa kekuasaan mereka sebentar lagi akan hancur.
Setiap orang dari mereka akan menjadi tidak berarti ketika anak kecil
itu dewasa. Tak seorang pun di antara mereka yang dapat “menjual
pengampunan” kepada manusia atau menghakimi mereka melalui pemyataan
bahwa ia adalah wakil dari langit yang turun di bumi. Atau pernyataan,
bahwa hanya dia yang mengetahui syariat.
Para pendeta Yahudi merasa akan
terjadi suatu tragedi kepribadian yang akan datang kepada mereka dengan
kelahiran anak kecil ini. Kedatangan al-Masih berarti mengembalikan
manusia kepada penyembahan semata-mata kepada Allah SWT. Ini berarti
menghapus agama Yahudi yang sekarang mereka yakini. Perbedaan antara
ajaran-ajaran Musa dan tindakan-tindakan orang-orang Yahudi menyerupai
perbedaan antara bintang-bintang di langit dan lumpur-lumpur di jalan.
Para pendeta Yahudi menyembunyikan kisah kelahiran Isa dan bagaimana ia
berbicara di masa buaian. Mereka justru menuduh Maryam yang masih
perawan dengan kebohongan yang besar. Mereka menuduh Maryam melakukan
pelacuran, padahal mereka menyaksikan sendiri mukjizat pembicaraan
anaknya di masa buaian.
Mula-mula cerita tentang itu
mereka sembunyikan untuk beberapa saat. Meskipun demikian, berita
tentang kelahiran Isa sampai ke Hakim Romawi, yaitu Heradus. Ia memimpin
orang-orang Palestina dan orang-orang Yahudi dengan kekuatan pedang. Ia
menakut-nakuti mereka dengan menumpahkan darah serta banyaknya
mata-mata yang dimilikinya. Pada suatu hari, ia duduk di istananya dan
meminum anggur. Lalu ia mendengar berita yang samar tentang kelahiran
seseorang anak tanpa ayah; seorang anak yang dikatakan ia mampu
berbicara saat masih di buaian, lalu ia menyampaikan pembicaraan yang
menjurus pada ancaman terhadap kekuasaan Romawi. Kemudian bergetarlah
kursi yang ada di bawah tubuh Heradus. Ia memerintahkan untuk diadakan
suatu pertemuan mendadak yang dihadiri oleh para pengawalnya dan para
mata-matanya. Pertemuan itu pun terlaksana. Heradus duduk dengan
wajahnya yang hitam mengkilat, lalu ia memutarkan pandangannya ke arah
mata-matanya dan bertanya: “Bagaimana berita anak kecil yang berbicara di buaiannya?”
Salah seorang kepala mata-mata berkata: “Tampak
bahwa masalahnya tidak benar. Kami telah mendengar isu-isu sekitar anak
kecil yang mereka katakan bahwa ia membuat mukjizat dengan berbicara
saat ia masih belia. Lalu saya mengutus anak buahku untuk mencari
kebenaran berita itu, tetapi mereka tidak menemukannya. Jelas bagi kami,
bahwa berita itu dilebih-lebihkan.” Kemudian salah satu anggota mata-mata raja berkata: “Aku
telah mendapatkan bukti yang terpercaya bahwa tiga orang dari
orang-orang Majusi datang di balik suatu bintang yang mereka lihat
menyala di suatu langit dan bintang tersebut mengisyaratkan kelahiran
anak kecil yang membawa mukjizat, yaitu anak kecil yang akan
menyelamatkan kaumnya.” Hakim berkata: “Bagaimana ia dapat menyelamatkan kaumnya dan kaum siapa yang diselamatkannya?” Salah seorang mata-mata berkata: “Anak buahku tidak mengetahuinya karena orang-orang pandai dari Majusi itu pergi dan tak seorang pun menemukan mereka.”
Hakim berkata:
“Bagaimana mereka dapat pergi dan bersembunyi lalu bagaimana cerita
anak kecil ini? Apakah di sana ada persekongkolan untuk menentang
Romawi?” Hakim melompat dari tempat duduknya ketika ia menyebut Romawi, dan ia mulai berbicara dengan keadaan emosi: “Aku
menginginkan kepala tiga orang yang cerdik itu dan aku juga
menginginkan kepala anak kecil itu. Dan aku menginginkan informasi yang
lengkap. Sungguh masalah ini semakin samar hai orang-orang yang bodoh.” Lalu kepala mata-mata berkata: “Barangkali ini hanya mimpi yang dibayangkan orang-orang Yahudi bahwa mereka melihatnya.” Hakim berkata: “Sungguh
kepala-kepala kalian semua akan terbang lebih cepat dari merpati jika
kalian tidak mendatangkan cerita secara lengkap tentang anak ini.
Kebingungan dan kekacauan apa yang aku rasakan! Pergilah kalian dari
sini.”
Anak buah Heradus dan para
mata-mata pergi, sedangkan ia masih duduk memikirkan masalah tersebut.
Tampaknya masalah itu sangat menggelisahkannya. Ia tidak peduli dengan
kedatangan agama baru kepada manusia tetapi yang dipikirkannya adalah
kekuasaan Romawi yang ia menjadi simbolnya. Kemudian Heradus menetapkan
untuk memanggil pemuka orang Yahudi dan bertanya kepadanya tentang
masalah ini. Para pengawalnya yang khusus memanggil orang Yahudi itu.
Tidak beberapa lama orang Yahudi itu ada di depan hakim. Heradus
berkata: “Aku ingin berbicara kepadamu tentang suatu masalah yang sangat menggelisahkanku.” Pendeta Yahudi itu berkata: “Aku ingin mengabdi kepadamu.”
Heradus berkata: “Aku
mendengar berita-berita yang saling berlawanan tentang anak kecil yang
bisa berbicara di masa buaiannya dan ia mengatakan bahwa ia akan
menyelamatkan kaumnya. Maka bagaimana berita yang sebenarnya tentang
itu?” Pendeta itu berkata—dan ia merasa bahwa pertanyaan itu sepertinya berupa jebakan yang tidak diketahuinya secara pasti: “Apakah tuan yang mulia peduli dengan agama Yahudi?”
Heradus berkata dalam keadaan emosi: “Aku tidak peduli sedikit pun selain kekuasaan Romawi. Jawablah pertanyaanku wahai pendeta.” Pendeta
Yahudi itu telah melihat Isa berbicara di buaiannya. Ia memahami bahwa
seandainya ia mengatakan itu, maka ia akan mendapatkan penderitaan pada
dirinya, maka ia lebih memilih sedikit berbohong. Ia berkata kepada
Heradus bahwa ia mendengar cerita itu tetapi ia meragukannya.
Heradus berkata: “Apakah benar agama kalian berbicara tentang kedatangan seorang penyelamat bagi rakyat kalian?” Pendeta berkata: “Ini benar wahai tuan yang mulai.” Heradus berkata: “Apakah
kalian mengetahui ini adalah persekongkolan menentang keamanan kerajaan
Romawi? Apakah kalian menyadari ini adalah bentuk pengkhianatan?” Pendeta berkata: “Aku
harap tuan membiarkan aku meluruskan suatu pemikiran yang sederhana.
Berita tentang hal itu adalah berita yang kuno. Berita ini diyakini
ketika rakyat menjadi tawanan di Bebel sejak ratusan tahun.”
Heradus berkata: “Apakah
memang di sana ada yang membenarkan berita ini? Sekarang, apakah kamu
secara pribadi membenarkannya? Apakah engkau melihat anak kecil itu yang
mereka katakan bahwa ia dilahirkan tanpa seorang ayah?” Pendeta itu berkata: “Apakah
ada seorang yang percaya wahai tuan yang mulia jika dikatakan ada
seorang anak yang lahir tanpa seorang ayah. Ini adalah mimpi rakyat
biasa.”
Heradus berkata: “Tidak
ada sesuatu yang mengusir tidur dari mata seorang penguasa selain
mimpi-mimpi rakyat. Pergilah wahai pendeta dan jika engkau mendengar
berita-berita, maka sampaikanlah kepadaku sebelum engkau sampaikan
kepada istrimu.” Belum lama pendeta itu pergi sehingga Heradus
berpikir, bagaimana seandainya pendeta itu berbohong. Ia menangkap
benang kebohongan pada kedua matanya. Ia mengetahui kebohongan ini
karena ia sendiri sangat pandai berbohong. Kemudian bagaimana cerita
tiga orang cerdik yang mereka mengikuti bintang? Apakah di sana terdapat
persekongkolan menentang Romawi yang tidak diketahuinya?
Heradus berteriak di
tengah-tengah pengawalnya dan memerintahkan mereka untuk menangkap semua
orang yang mendengar cerita ini atau ia akan melihat akibatnya.
Mula-mula dia memerintahkan untuk mencari gadis perawan yang melahirkan
anak itu dan membunuh setiap anak yang lahir di saat itu. Sementara itu,
Maryam keluar dari Palestina menuju ke Mesir. Sebelumnya, pada suatu
malam, datanglah kepadanya seseorang yang belum pernah dilihatnya dan
orang itu menyampaikan salam kepadanya serta menyerukannya dan sambil
berkata: “Bawalah anakmu wahai Maryam dan keluarlah menuju Mesir.” Dengan nada ketakutan Maryam bertanya, “Mengapa? Bagaimana aku keluar menuju ke Mesir; dan bagaimana aku bisa mengenali jalan?” Orang asing itu menjawab, “Keluarlah engkau niscaya Allah SWT akan melindungimu. Sesungguhnya Hakim Romawi mencari anakmu dan ingin membunuhmu.”
Maryam bertanya: “Kapan aku keluar?” Orang asing itu menjawab: “Sekarang
juga. Janganlah engkau khawatir sedikit pun karena engkau keluar
bersama seorang Nabi yang mulia. Semua nabi diusir oleh kaumnya dari
negeri mereka dan rumah mereka. Demikianlah hukum kehidupan. Kejahatan
selalu berusaha untuk menyingkirkan kebaikan tetapi pada akhirnya,
kebaikan akan kembali menduduki singgasananya. Keluarlah wahai Maryam.”
Akhirnya, Maryam pun pergi menuju ke Mesir. Maryam melalui gurun Saina’
bersama suatu kafilah yang menuju Mesir. Maryam berjalan membawa Isa di
jalan yang sama yang pernah dilalui Nabi Musa di mana ditampakkan
kepada Nabi Musa api yang suci dan beliau dipanggil dari sisi thur
al-Aiman. Setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, Maryam
sampai di Mesir. Mesir yang dipenuhi dengan kebaikan, kemuliaan,
kebudavaan klasik serta cuacanya yang stabil mempakan tempat yang
terbaik untuk pertumbuhan Isa as.
Al-Masih tumbuh dan berkembang
serta menjalani masa kecilnya di Mesir. Kemudian datanglah kepada Maryam
orang asing yang telah memerintahkannya untuk meninggalkan Palestina.
Kali ini, ia memerintahkannya untuk kembali ke Palestina. Orang asing
itu berkata kepadanya: “Raja yang lalim
telah mati, maka kembalilah bersama anakmu wahai Maryam. Telah datang
kesempatan emas bagi Isa untuk menduduki singgasananya. Isa akan menjadi
penyayang orang-orang fakir dan orang-orang yang benar. Kembalilah
wahai Maryam.” Maryam pun kembali. Dalam perjalanan Maryam melalui banyak mata air di sungai Jordania.
Isa pun tumbuh menjadi dewasa
dan mencapai masa mudanya. Isa keluar dari rumahnya dan menuju tempat
penyembahan kaum Yahudi. Saat itu bertepatan dengan hari Sabtu. Di sana
tidak ada satu rumah pun dari rumah kaum Yahudi yang dapat menyalakan
api atau memadamkannya pada hari Sabtu, atau mengambil buah di hari itu.
Dilarang bagi seorang wanita untuk membikin adonan roti atau seseorang
anak kecil mencuci anjingnya. Nabi Musa telah memerintahkan untuk
menghormati hari Sabtu dan hanya mengkhususkanya untuk beribadah kepada
Allah SWT.
Terdapat hikmah di balik
penghormatan hari Sabtu sehingga hari Sabtu menjadi hari yang sangat
disucikan di kalangan orang-orang Yahudi. Mereka melaksanakannya dengan
berbagai macam tradisi dan mereka mencurahkan segala konsentrasi mereka
untuk menjaga hari Sabtu dan tidak meremehkannya. Sebab, mereka meyakini
bahwa hari Sabtu adalah hari yang dijaga dari langit sebelum Allah
menciptakan manusia sebagaimana mereka percaya bahwa Bani Israil telah
diberikan pilihan kepada satu jalur saja, yaitu menjaga hari Sabtu.
Mereka bangga karena mereka dapat menjaganya meskipun hal itu
menyebabkan mereka kalah di kancah peperangan atau mereka tertawan di
tangan musuh. Bahkan saking ketatnya mereka mempertahankan kehormatan
hari Sabtu sampai-sampai mereka menambah-nambahi berbagai macam larangan
di hari Sabtu. Majelis kaum Yahudi menetapkan ratusan larangan yang
tidak boleh dilakukan di hari Sabtu, seseorang dilarang untuk memakai
gigi palsu di hari Sabtu. Seorang yang sakit dilarang untuk memakai
perban atau memakai minyak di tempat yang sakit pada hari Sabtu atau
memanggil dokter. Dilarang pula di hari Sabtu untuk menulis dua huruf
abjad; dilarang juga untuk mempertahankan diri pada hari Sabtu; dilarang
untuk panen dan belajar di hari Sabtu. Kemudian, bepergian di hari
Sabtu diharuskan untuk tidak lebih dari dua ribu yard. Dilarang juga
dihari Sabtu untuk membawa sesuatu ke luar rumah.
Jadi, banyaknya syariat, hukum
serta larangan-larangan biasanya diikuti dengan banyaknya keburukan atau
paling tidak membantu terciptanya keburukan. Setiap timbul suatu
larangan, maka timbul bersamanya cara untuk menghindar darinya.
Demikianlah, kehidupan kaum Yahudi dipenuhi dengan kemunafikan yang luar
biasa di mana secara lahiriah mereka menampakkan penghormatan terhadap
hari Sabtu, tetapi secara batiniah mereka berusaha menodai kehormatan
dengan berbagai macam cara.
Meskipun kelompok Farisiun
bertanggung jawab terhadap tugas pelaksanaan syariat dan mengawasinya
dengan banyak mendapatkan jarninan-jaminan, maka kita akan melihat bahwa
mereka siap untuk menciptakan berbagai rekayasa dan tipu daya yang
memungkinkan mereka untuk menghindar dari hukum-hukum syariat di saat
yang tepat. Saat yang tepat adalah saat di mana syariat-syariat tersebut
bertentangan dengan kepentingan pribadi mereka atau dapat menjadi
penghalang bagi mereka untuk mendapatkan mata pencaharian yang haram
yang sudah siap masuk pada kantong mereka. Misalnya, terdapat kaidah
syariat yang menetapkan perjalanan pada hari Sabtu tidak boleh melebihi
dua ribu yard. Namun orang-orang Farisiun mengadakan walimah di mana
mereka mengundang orang-orang untuk menghadiri acara tersebut pada hari
Sabtu, padahal tempat diadakannya acara itu berjarak lebih dari dua ribu
yard dari rumah mereka. Lalu, bagaimana mereka dapat melaksanakan hal
tersebut? Sangat mudah sekali. Mereka meletakkan pada sore hari Sabtu
sebagian makanan yang berjarak dua ribu yard dari rumah mereka lalu
setelah itu mereka mendirikan suatu tempat tinggal di mana mereka dapat
berjalan setelahnya dan menempuh dua ribu yard yang lain. Dari sini
mereka dapat menambah jarak yang mereka inginkan. Begitu juga agar
mereka menghindar dari larangan membawa sesuatu ke luar rumah pada hari
Sabtu, maka mereka membuat tipu daya yang lain. Yaitu mereka mendirikan
gerbang-gerbang pintu dan jendela di berbagai jalan sehingga seluruh
kota seperti rumah besar yang dimungkinkan bagi mereka untuk membawa
segala sesuatu dan bergerak di dalamnya.
Contoh lain yang menunjukan
bagaimana orang-orang Yahudi mempermainkan syariat sedangkan mereka
mengklaim menjaganya adalah, bahwa syariat Musa menetapkan agar seorang
anak menginfaki kedua orang tuanya saat mereka menginjak usia tua dan
membutuhkannya. Tetapi kaum Farisiun memberikan kesempatan kepada
anak-anak untuk lari dan menghindar dari tanggung jawab ini dengan suatu
tipu daya yang sederhana. Ketika seorang anak dituntut oleh kedua orang
tuanya untuk memberi nafkah, maka ia pergi ke para pendeta dan
bersepakat kepada mereka untuk mewakafkan semua hartanya dan kekayaannya
kepada haikal, yaitu tempat sembahan kaum Yahudi. Saat itu kedua orang
tuanya tidak mampu mengambil sesuatu pun darinya. Ketika mereka berdua
telah putus asa dan tidak lagi menuntut padanya untuk memberi nafkah,
maka semua harta kekayaannya akan dikembalikan kepadanya oleh para
pendeta, dengan catatan hendaklah ia memberikan bagian tertentu dari
hartanya kepada para pendeta itu. Demikianlah yang terdapat dalam Injil
Mata.
Di tengah-tengah suasana
kebodohan pemikiran yang luar biasa ini, juga terdapat sikap keras
kepala dan kejumudan berpikir yang mengelilingi kaum Yahudi. Terdapat
tujuh tingkat kesucian dan dua puluh enam salat yang harus mereka
lakukan saat mereka membasuh tangan sebelum memakan makanan, namun
mereka menganggap bahwa meniadakan pembacaan salat-salat sebagai bentuk
pembunuhan terhadap jiwa dengan cara bunuh diri dan tercegah dari
kehidupan abadi. Demikianlah kekerasan sikap masyarakat Yahudi yang
menunjukkan bahwa moral mereka telah rusak dan dipenuhi dengan
kemunafikan yang tiada taranya.
Sementara itu, Isa berjalan
menuju tempat beribadah. Orang-orang berjalan di sekelilingnya. Mereka
tampak membanggakan pakaian-pakaian yang berwarna dan berharga sedangkan
Isa berjalan dengan memakai baju putih dan menampakkan kezuhudannya.
Rambut Isa tampak lembut yang mencapai kedua bahunya dan tampak ia basah
terkena air awan yang menurunkan gerimis. Kemudian kedua kakinya
berjalan di atas tanah sehingga tanah itu dipenuhi dengan bau harum yang
tidak diketahui sumbernya. Baju yang dipakai oleh Isa terbuat dari bulu
domba yang sangat sederhana dan kasar. Meskipun hari itu hari Sabtu,
Isa memetik buah di suatu kebun dan mengambil dua buah yang beliau
berikan kepada anak kecil yang fakir dan lapar. Tindakan semacam ini
menurut kepercayaan Yahudi dianggap sebagai tindakan yang menentang
agama Yahudi.
Isa mengetahui bahwa menjalankan
agama yang hakiki bukan terletak pada ketaatan eksternal sementara hati
jauh dari sikap rendah diri. Oleh karena itu, Isa mencabut buah dan
memberikan makan kepada manusia pada hari Sabtu. Beliau menyalakan api
untuk wanita-wanita tua sehingga mereka tidak mati kedinginan.
Isa sering mengunjungi tempat
sesembahan orang Yahudi. Isa berdiri di dalamnya dan mengamati para
pendeta dan manusia yang hilir mudik di sekitarnya. Sesampainya Isa di
tempat sembahan, ia berdiri di dalamnya. Isa mengamat-amati apa yang ada
di dalamnya. Dinding-dinding tempat beribadah itu terbuat dari kayu
gahru yang memiliki bau yang harum. Di samping itu, terdapat
kelambu-kelambu yang terbuat dari kain-kain yang mengagumkan yang
dicampur dengan emas. Juga terdapat lampu-lampu yang terulur dari atap
dan juga ada lilin-lilin yang memenuhi ruangan dengan cahaya. Meskipun
demikian, kegelapan menyelimuti hati orang-orang yang ada di situ.
Nabi Isa berdiri cukup
lama di tempat penyembahan itu. Setiap kali ia memutarkan wajahnya, ia
mendapati para pendeta di sana. Terdapat dua puluh ribu pendeta.
Nama-nama mereka tercatat dalam haikal. Mereka adalah kaum Waliyun yang
memakai saku-saku yang besar yang di dalamnya ada kitab-kitab syariat.
Sedangkan kaum Farisiun, mereka memakai pakaian yang lebar yang
sisi-sisinya tertenun dengan emas. Mereka adalah pembantu haikal yang
resmi dengan memakai baju-baju mereka yang putih. Adapun kaum Shaduqiyun
adalah kelompok para pendeta aristokrat yang bersekutu dengan penguasa
di mana mereka memperoleh kekayaan melalui persekutuan ini. Nabi Isa
memperhatikan bahwa jumlah pengunjung haikalita lebih sedikit daripada
jumlah para pendeta dan para tokoh agama. Tempat penyembahan itu
dipenuhi dengan kambing dan merpati yang dibeli oleh para pengunjung
tempat penyembahan itu. Mereka menyerahkannya sebagai kurban kepada
Allah. Yaitu kurban yang disembelih di dalam tempat persembahan di atas
tempat penyembelihan. Alhasil setiap langkah yang diayunkan oleh para
pejalan di tempat penyembahan itu akan menghasilkan uang.
Di tempat penyembahan Yahudi
itulah tersingkap hakikat kehidupan kaum Yahudi. Nilai satu-satunya yang
disembah oleh manusia di zaman itu adalah uang. Jadi, kemewahan materi
atau kekayaan adalah nilai satu-satunya yang karenanya manusia akan
bergulat satu sama lain. Dalam hal itu, tidak ada perbedaan antara
tokoh-tokoh pembawa ajaran syariat dengan manusia-manusia biasa. Kaum
Shaduqiyun dan kaum Farisiun bekerja sama di antara mereka di dalam
haikal itu seakan-akan mereka di dalam suatu pasar di mana mereka
memanfaatkannya untuk diri mereka dengan terus mencari kurban-kurban di
dalamnya. Seringkali kaum Shaduqiyun dan Farisiun berseteru dalam
persoalan syariat dan hukum. Demikian juga, mereka berseteru dalam
menentukan kurban yang harus mereka raih di haikal itu. Kaum Farisiun
berpendapat bahwa hewan-hewan kurban itu harus dibeli dari harta haikal
sedangkan kaum Shaduqiyun menganggap bahwa harta dari haikal adalah hak
mereka. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa hewan kurban itu harus
dibeli dengan jumlah tersendiri. Begitu juga kaum Farisiun mewajibkan
untuk membakar hewan yang disembelih di atas tempat penyembahan,
sedangkan kaum Shaduqiyun mereka mengambil hewan sembelihan ini untuk
diri mereka sendiri.
Di dalam Talmud disebutkan bahwa
kaum Shaduqiyun menjual merpati di toko-toko mereka yang mereka miliki.
Mereka sengaja memperbanyak kesempatan-kesempatan yang diharuskan di
dalamnya untuk mengorbankan burung-burung merpati sehingga harga seekor
burung merpati saja mencapai beberapa Dinar. Melihat hal itu, salah satu
tokoh Farisiun yaitu Sam’an bin Amlail mengeluarkan fatwa yang intinya
mengurangi kesempatan-kesempatan yang diharuskan di dalamnya seseorang
menyerahkan merpati sebagai kurban. Setelah itu, harga burung cuma
mencapai seperempat Dinar. Pergulatan antara kedua kelompok itu
mendatangkan pukulan berat bagi pemilik toko yang menyimpan burung
merpati terutama anak-anak dari kepala pendeta.
Nabi Isa memperhatikan apa yang
terjadi di sekelilingnya; Nabi Isa melihat kaum fakir yang tidak mampu
membeli hewan kurban sehingga mereka tidak mampu berkurban; Nabi Isa
melihatbagaimana para pendeta memperlakukan mereka dan memangsa mereka
seperti serigala yang buas. Nabi Isa berpikir di dalam dirinya, mengapa
binatang-binatang itu mereka bakar lalu dagingnya menjadi asap di udara,
padahal di sana terdapat ribuan kaum fakir yang mati kelaparan? Mengapa
mereka mengira bahwa Allah SWT ridha ketika tempat penyembelihan
dilumuri dengan darah, lalu hewan kurban itu dibawa ke rumah-rumah para
pendeta dan toko-toko mereka untuk dijual? Mengapa orang-orang fakir
banyak berhutang dan mengeluarkan banyak uang untuk membeli
binatang-binatang kurban? Mengapa binatang-binatang kurban itu harus
dimiliki dan hanya dirawat oleh para pendeta lalu apa yang mereka
lakukan dengan uang-uang ini? Lalu, di manakah tempat orang-orang fakir
di haikal itu? Bukankah hal yang aneh ketika seseorang memasuki rumah
dengan keharusan membawa uang?
Nabi Isa pergi dari tempat
penyembahan itu dan ia meninggalkan kota menuju gunung. Dada Nabi Isa
dipenuhi dengan kecemburuan yang suci terhadap yang Maha Benar. Wajahnya
tampak semakin pucat ketika melihat berbagai macam kejahatan memenuhi
dunia. Nabi Isa berdiri di atas sebuah bukit dan beliau mulai melakukan
salat. Tetesan-tetesan air mata mulai berlinang dari pipinya dan jatuh
ke bumi. Nabi Isa mulai merenung dan menangis. Di sana terdapat bunga
yang nyaris mati karena kehausan lalu ketika ia mendapatkan tetesan air
mata al-Masih, maka bunga itu mekar kembali dan mendapatkan kehidupan.
Tetesan air mata al-Masih menyelamatkannya, sebagaimana beliau akan
menyelamatkan manusia dengan dakwahnya. Di malam yang penuh berkah ini
pula, dua orang Nabi yang mulia meninggalkan bumi, yaitu Nabi Yahya dan
Nabi Zakaria. Kedua Nabi itu dibunuh oleh penguasa. Sejak kepergian
mereka berdua, bumi kehilangan banyak dari kebaikan. Pada malam itu
juga, turunlah wahyu kepada Isa bin Maryam. Allah SWT memutuskan
perintah-Nya agar ia memulai dakwahnya.
Nabi Isa menutup lembaran halus
dari kehidupannya yaitu lembaran yang penuh dengan tafakur dan ibadah.
Beliau memulai perjalanannya yang berat dan penuh tantangan serta
penderitaan: beliau mulai berdakwah di jalan Allah SWT; beliau mulai
membangun kerajaan yang tegak berdasarkan kerendahan hati dan cinta.
Kerajaan yang penguasanya bertujuan untuk membebaskan dan menyucikan
ruh. Kerajaan yang memancarkan sikap rendah diri dan cinta. Nabi Isa
ingin menyelamatkan ruhani. Ajaran Nabi Isa berdasarkan keimanan
terhadap hari kiamat dan kebangkitan. Nilai-nilai dan pemikiran tersebut
tidak ditemukan dalam kehi-dupan orang-orang Yahudi.
Syariat Musa menetapkan
pemberlakuan hukum qisas: barangsiapa yang memukulmu di pipi sebelah
kananmu, maka pukullah pipi sebelah kanannya. Lalu bagaimanakah
orang-orang Yahudi menerapkan hukum qisas tersebut? Jika yang dipukul
mampu untuk menghancurkan rumah orang yang memukul, maka ia tidak perlu
merasa puas hanya sekadar memukul pipi sebelah kanannya, namum jika ia
tidak mampu, maka hendaklah ia memukul pipi sebelah kanannya. Namun
boleh jadi hatinya dipenuhi dengan dendam karena ia tidak dapat
menghancurkan rumahnya.
Jadi, kebencian adalah pelabuhan
tempat bersinggahnya syariat Musa. Meskipun beliau adalah seorang Nabi
yang merupakan cermin cinta Ilahi yang besar namun syariatnya kini
berada di bawah kekuasaan hati-hati yang mati, yaitu hati-hati yang
penuh dengan dendam dan kebencian. Lalu, apa yang dilakukan Nabi Isa
terhadap semua ini? Allah SWT telah mengutusnya dan memperkuat Taurat
yang dibawa oleh Musa sebagaimana Allah SWT menurunkannya kepada Musa.
Jadi, seorang nabi tidak menghancurkan tugas nabi sebelumnya. Para nabi
bagaikan satu mata rantai yang tujuannya adalah satu, yaitu menciptakan
kesucian dan mempertahankan kebenaran serta mengesakan Allah SWT.
Kemudian apa yang dilakukan Nabi
Isa terhadap syariat qisas cersebut? Yang jelas, tindakan yang
dilakukkan oleh Nabi Isa murni dari ilham yang didapatnya dari Allah
SWT. Nabi Isa mengem-balikan kaum kepada tujuan asli dari syariat. Nabi
Isa mengembalikan mereka kepada hikmah syariat yang asli. Nabi Isa
mengembalikan mereka kepada cinta. Nabi Isa tidak mengatakan sesuatu pun
kepada orang yang memukul pipi sebelah kanannya. Nabi Isa tidak
berusaha untuk memukul pipi sebelah kanannya. Al-Masih justru akan
membalikkan pipi sebelah kirinya. Inilah syariat Nabi Isa yang tidak
berbeda sedikit pun dengan syariat Nabi Musa. Ia merupakan kedalaman
yang mengagumkan dari kedalaman syariat Nabi Musa. Nabi Isa ingin
menetapkan kepada kaum di sekelilinginya tentang sesuatu yang penting.
Nabi Isa ingin memberitahu mereka bahwa syariat bukan mengajari kalian
untuk meletakkan dendam pada diri kalian lalu kalian memukul lawan
kalian. Syariat yang hakiki adalah, hendaklah kalian menebar kasih
sayang, pemaaf, dan cinta.
Terdapat banyak
binatang-binatang buas di hutan. Binatang-binatang itu mencintai diri
mereka sendiri. Mereka bermusuhan dan saling membunuh demi makanan dan
minuman. Mereka memberikan makan kepada anak-anaknya. Perbedaan antara
manu-sia dan binatang adalah perbedaan pada tingkat cinta. Hewan tidak
akan mampu melampui derajat cintanya kepada makhluk yang lain. Atau
dengan kata lain, hewan tidak dapat membagi cintanya kepada jenis yang
lain. Sedangkan manusia mampu melakukan hal itu. Di situlah manusia
mampu dapat mencapai kemuliaannya dan kemanusiaannya. Al-Masih
memberitahu kaumnya bahwa manusia tidak akan menjadi manusia sempurna
kecuali setelah ia mencintai orang lain sebagaimana ia mendntai dirinya
sendiri.
“Aku
mendengar bahwa dikatakan, hendaklah engkau mencintai orang yang dekat
denganmu dan membenci musuhmu, sedangkan aku berkata kepada kalian,
cintailah musuh kalian dan doakanlah orang yang melaknati kalian.
Berbuat baiklah kepada pembenci kalian dan salatlah untuk orang-orang
berbuat buruk kepada kalian.” (Injil Mata).
Dakwah Nabi Isa datang dan
menghapus syariat Nabi Musa dalam bentuk eksternal. Jika kita berusaha
membandingkan dua syariat tersebut dalam bentuk yang sederhana, maka
pada hakikat-nya dakwah Nabi Isa bertujuan untuk menghapus bid’ah yang
dilakukan oleh kaum Farisiun dan Shaduqiun terhadap syariat Nabi Musa
dan menunjukkan hakikat syariat ini dan tujuan-tujuannya yang tinggi. Di
tengah-tengah masa materialisme yang sangat luar biasa dan dunia
dipenuhi dengan penyembahan terhadap emas dan tersebarnya berbagai macam
kejahatan, munculah dakwah al-Masih sebagai reaksi ideal yang
menunjukkan ketinggian dan kesucian. Al-Masih mengetahui bahwa ia
mengajak manusia untuk menciptakan perilaku ideal dalam kehidupan;
Al-Masih menyadari bahwa dakwahnya penuh dengan idealisme tetapi
idealisme ini sendiri pada saat yang sama merupakan solusi satu-satunya
untuk mengobati kehidupan dari kesengsaraan dan penyakit-penyakit
menular; Al-Masih mengetahui bahwa tidak semua manusia tidak mampu untuk
mencapai puncak yang diisyaratkannya. Tetapi paling tidak, hendaklah
setiap orang berusaha sedikit mendaki sehingga ia selamat.
Dakwah Nabi Isa terdiri dari
kesudan yang mengagumkan; dakwah Nabi Isa bertujuan untuk menyelamatkan
ruh atau dakwah yang dapat dianggap sebagai pedoman perilaku individu,
bukan suatu system perincian-perincian tersebut dan hanya memfokuskan
kepada sumber utama, yaitu ruh. Isa ingin menghidupkan ruhani manusia
dan membimbingnya untuk mencapai cahaya Sang Pencipta. Oleh karena itu,
Isa datang dengan didukung oleh ruhul kudus. Ruhul kudus adalah Jibril.
Kita tidak mengetahui bagaimana Allah SWT memperkuat Isa dengan Ruh
Kudus: apakah Jibril menemaninya dan menyertainya sepanjang
pengutusannya? Jibril turun kepada nabi untuk menyampaikan risalah atau
membawa mukjizat atau justru mendatangkan hukuman atas kaumnya, tetapi
ia tidak bersama mereka sepanjang waktu. Oleh karena itu, apakah memang
Jibril menemani Isa sehingga beliau diangkat ke langit?
Hampir saja hati menjadi tenang
dengan tafsiran ini karena dalam kehidupan Nabi Isa terdapat sisi-sisi
malaikat di mana beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa yang berupa
mukjizat-mukjizat. Bahkan kemampuan beliau sampai pada batas
menghidupkan orang-orang mati dengan izin Allah SWT. Begitu juga, beliau
memiliki kemampuan yang luar biasa di mana beliau dengan hanya
meniupkan pada suatu tanah, maka tanah itu terbentuk menjadi burung dan
ia terbang dengan izin Allah SWT. Selain itu, Nabi Isa sama sekali tidak
mendekati wanita sepanjang hidupnya sehingga beliau diangkat oleh Allah
SWT. Beliau tidak menikah. Ini juga sifat malaikat di mana kita
saksikan bahwa sebagian para nabi yang diutus oleh Allah SWT dan
memiliki beberapa wanita bahkan kitab-kitab Yahudi menyebutkan bahwa
jumlah istri-istri nabi mereka Sulaiman misalnya, mencapai seribu
wanita.
Isa hidup dalam keadaan
tenggelam dalam ibadah seperti anak dari bibinya, yaitu Yahya. Jika
Yahya khusuk beribadah dan tinggal di gunung dan gurun bahkan dia
menginap di gua, maka hal itu adalah hal yang alami baginya, sedangkan
Isa hidup justru di tengah-tengah masyarakat kota. Persoalannya adalah,
bukan hanya Isa tidak terkait hubungan dengan seorang wanita dan bukan
hanya mukjizat-mukjizat yang diperolehnya yang luar biasa yang
berhubungan dengan ruh, tetapi yang lebih dari itu adalah, bahwa beliau
didukung oleh ruhul kudus sepanjang masa dakwahnya. Tentu itu adalah
nikmat yang tak seorang pun dari para nabi sebelumnya diberi. Allah SWT
berfirman:
“(Ingatlah),
ketika Allah mengatakan: ‘Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan roh kudus.
Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan
sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis,
hikmah, Taurat, dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk
dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian
kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya)
dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang
buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan
seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari
kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku
menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala
kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu
orang-orang kafir di antara mereka berkata: ‘Ini tidak lain hanya sehir
yang nyata.’ Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa
yang setia: ‘Berimanlah kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.’ Mereka
nienjawab: ‘Kami telah beiiman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).’”
(QS. al-Maidah: 110-111)
Ayat-ayat tersebut menyebutkan
lima mukjizat Nabi Isa. Pertama, bahwa beliau mampu berbicara dengan
manusia saat beliau masih di buaian. Kedua, beliau diajari Taurat dan
Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa telah tersembunyi dan telah
mengalami perubahan yang dilakukan oleh orang-orang cerdik dari kaum
Yahudi. Ketiga, beliau membentuk tanah seperti burung kemudian
meniupkannya lalu tanah itu menjadi burung. Keempat, beliau mampu
menghidupkan orang-orang yang mati. Kelima, beliau mampu menyembuhkan
orang yang buta dan orang yang belang. Terdapat mukjizat yang keenam
yang disebutkan dalam Al-Qur’an al-Karim:
“(Ingatlah),
ketika pengikut-pengikut Isa berkata: ‘Hai Isa putra Maryam, bersediakah
Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?’ Isa menjawab:
‘Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orangyang beriman.’
Mereka berkata: ‘Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram
hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada
kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.’ Isa
putra Maryam berdoa: ‘Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami
suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya
bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang
sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah kami
dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.’ Allah berfirman:
‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa
yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan) itu, maka sesungguhnya
Aku ahan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan
kepada seorang pun di antara umat manusia.’” (QS. al-Maidah: 112-115)
Mukjizat yang keenam itu adalah
turunnya makanan dari langit karena permintaan Hawariyin. Juga terdapat
mukjizat yang ketujuh yang terdapat surah Ali ‘Imran yaitu beliau diberi
kemampuan melihat hal-hal yang gaib melalui panca inderanya meskipun
beliau tidak menyaksikannya secara langsung. Oleh karena itu, beliau
memberitahu kepada sahabat-sahabatnya dan murid-muridnya apa yang mereka
makan dan apa yang mereka simpan di rumah-rumah mereka:
“Dan aku
kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di
rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda
(kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu benar-benar beriman. ” (QS.
Ali ‘Imran:: 49)
Inilah mukjizat Nabi Isa yang
ketujuh yang didahului oleh mukjizat kelahirannya yang sangat
mengagumkan. Beliau lahir tanpa seorang ayah, lalu diikuti mukjizat
berikutnya di mana beliau diangkat dari bumi ke langit ketika penguasa
yang lalim berusaha menyalibnya. Barangkali pembaca akan bertanya-tanya:
mengapa mukjizat-mukjizat seperti ini diperoleh oleh Nabi Isa? Kita
mengetahui bahwa mukjizat adalah hal yang luar biasa yang Allah SWT
berikan kepada nabi-Nya. Tetapi pemberian itu menjadi sempuma jika
mukjizat itu disesuaikan dengan keadaan zaman diutusnya nabi tersebut
sehingga mukjizat itu sangat berpengaruh dalam jiwa kaum dan mampu
menggoncangkan hati mereka dan menjadikan mereka berimana kepada pemilik
mukjizat ini. Jadi, mukjizat menjadi suatu hal yang luar biasa. Oleh
karena itu, Allah SWT berkehendak agar mukjizat ini sesuai dengan zaman
diutusnya nabi tersebut.
Jadi, setiap mukjizat yang
dibawa oleh rasul selalu berlain-lainan. Nabi Saleh diutus di
tengah-tengah kaum yang melihat bagaimana seekor unta yang melahirkan
dari gunung atau mampu membelah batu-batuan gunung. Sedangkan Nabi Musa
diutus di tengah-tengah kaum yang gemar memainkan sihir sehingga sihir
mendapat tempat istimewa. Oleh karena itu, mukjizat yang dibawa oleh
Nabi Musa bentuk lahirnya seakan-akan menyerupai sihir, tetapi pada
hakikatnya ia justru menjatuhkan sihir. Mukjizat itu berupa tongkat yang
menjadi ular dan kemudian ular itu memakan tongkat-tongkat para tukang
sihir.
Lain halnya dengan Nabi Isa,
beliau diutus di tengah-tengah kaum materialis yang mengingkari ruh dan
hari kebangkitan. Mereka menduga bahwa manusia hanya sekadar tubuh tanpa
ruh. Mereka adalah kaum yang meyakini bahwa darah makhluk adalah ruhnya
atau jiwanya. Taurat yang ada di tangan Yahudi menyebutkan bahwa tafsir
an-Nafst adalah darah. Disebutkan di dalamnya: “Janganlah engkau memakan darah dari tubuh manusia karena jiwa setiap tubuh adalah darahnya. “
Nabi Isa diutus di tengah-tengah
kaum yang mereka disesatkan oleh falsafah yang dasarnya mengatakan
bahwa penciptaan alam memiliki sumber pertama, seperti sebab dari
akibat. Jadi, alam memiliki wujud yang mendahuluinya. Di tengah-tengah
masa yang niaterialis ini, di mana ruh diingkari, maka secara logis
mukjizat Nabi Isa terkait dengan usaha menunjukkan alam ruhani.
Demikianlah Isa dilahirkan tanpa seorang ayah. Mukjizat ini cukup untuk
membungkam kaum yang mengatakan bahwa alam memiliki sumber pertama.
Jelas bahwa alam tidak memiliki wujud yang mendahuluinya. Kita berada di
hadapan Sang Pencipta yang mengadakan sistem bagi segala sesuatu dan
menjadikan sebab bagi segala sesuatu. Dia menjadikan proses kelahiran
anak berasal dari hubungan laki-laki dan wanita, tetapi Pencipta ini
sendiri menciptakan sebab-sebab dan sebab-sebab itu tunduk kepadanya
sedangkan Dia tidak tunduk kepada sebab-sebab itu. Dengan kehendak-Nya
yang bebas, Dia mampu memerintahkan kelahiran anak tanpa melalui ayah
sehingga anak itu lahir. Dan, kelahiran Isa pun terjadi tanpa seorang
ayah. Cukup ditiupkan ruh kepadanya:
“Lalu Kami
tiupkan ke dalamnya (tubuhnya) roh dari Kami dan Kami jadikan dia dan
anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam. ” (QS.
al-Anbiya’: 91)
Kelahiran Isa membawa mukjizat
yang luar biasa yang menegaskan dua hal: pertama, kebebasan kehendak
Ilahi dan ketidak terkaitannya dengan sebab karena Dia adalah Pencipta
sebab-sebab, kedua pentingnya ruh dan menjelaskan kedudukannya serta
nilainya di antara kaum yang hanya mementingkan fisik sehingga mereka
mengingkari ruh. Seandainya kita mengamati sebagian besar mukjizat Nabi
Isa, maka kita akan melihatnya dan mendukung pandangan tersebut.
Misalnya, mukjizat Nabi Isa yang mampu membentuk tanah seperti burung
lalu beliau meniupkannya sehingga tanah itu menjadi burung. Mukjizat ini
pun menguatkan adanya ruh. Semula ia berupa tanah yang bersifat fisik
yang tidak dapat disifati dengan kehidupan tetapi ketika Nabi Isa
meniupnya, maka segenggam tanah itu menjadi burung yang memiliki
kehidupan, Sungguh sesuatu yang bukan fisik masuk ke dalamnya. Sesuatu
itu adalah ruh. Ruh itu masuk ke dalam tanah sehingga ia menjadi burung.
Jadi, ruh adalah nilai yang hakiki, bukan jasad atau fisik. Di samping
itu, juga ada mukjizat menghidupkan orang-orang yang mati. Bukankah ini
juga menunjukkan adanya ruh dan adanya hari akhir atau hari kebangkitan.
Orang yang mati telah ditelan oleh bumi di mana anggota tubuhnya telah
hancur berantakan sehingga ia hampir menjadi tulang-belulang yang hancur
lalu al-Masih memanggilnya dan tiba-tiba dia hidup kembali dan bangkit
dari kematiannya.
Seandainya orang yang mati hanya
berupa fisik sebagaimana dikatakan orang-orang Yahudi, maka ia tidak
akan mampu bangkit dari kematiannya karena fisiknya telah hancur tetapi
mayit itu mampu bangkit dari kematian. Jasadnya kembali hidup dan ia
bangkit dari kuburannya serta berbicara. Jadi, ruh adalah nilai yang
hakild. bukan fisik atau jasad. Kalau begitu, di sana terdapat hari
kebangkitan dan hari kiamat. Hal ini bukanlah mustahil sebagaimana yang
dikatakan orang-orang Yahudi, karena setelah kematian jasad menjadi
tanah yang berterbangan di udara. Itu bukan mustahil tetapi
mungkin-mungkin saja. Dalil dari hal itu adalah, kebangkitan orang-orang
yang telah mati di hadapan mata kepala mereka sendiri. Nabi Isa telah
menghidupkan mereka agar kaumya vakin bahwa kiamat fisik akan terjadi
dari kematian dan itu adalah benar dan bahwa hari akhir adalah benar.
Juga terdapat mukjizat yang
lain, yaitu beliau mampu memberi tahu kaumnya tentang apa yang mereka
simpan di rumah-rumah mereka, tanpa terlebih dahulu beliau masuk ke
rumah mereka atau dapat bocoran dari seseorang. Mukjizat ini menetapkan
bahwa panca indera bukanlah nilai yang hakiki. Nabi Isa tidak melihat
apa yang ada di rumah mereka tetapi ruhnya mampu untuk melihat dan
berbicara atau memberitahu mereka. Jadi, ruhani adalah nilai yang
hakiki, bukan fisik. Demikianlah mukjizat-mukjizat Isa datang untuk
memberitahukan pentingnya ruh dan kebebasan kehendak Ilahi.
Mukjizat-mukjizat Nabi Isa—sebagaimana dikatakan oleh guru kami Muhammad
Abu Zahra’—termasuk dari jenis propagandanya dan sesuai dengan tujuan
risalahnya, yaitu dakwah untuk mendidik ruhani dan keimanan kepada hari
kebangkitan dan hari kemudian, dan di sana ada kehidupan lain di mana
seseorang yang berbuat baik akan dibalas kebaikannya dan orang yang
berbuat buruk akan dibalas keburukannya.
Lalu, apakah mukjizat
menghidupkan orang-orang yang mati masih memberikan celah kepada para
pengingkar akhirat untuk terus mengingkarinya atau memberikan ruangan
kepada penentang hari kebangkitan untuk meneruskan penentangannya? Kami
telah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi telah diracuni dengan pikiran
ketidakpercayaan atau penentangan pada hari akhirat serta tidak beriman
kepada hari akhir, maka menghidupkan orang-orang yang mati yang dibawa
atau dikuasai oleh Isa menjadi suatu pukulan telak bagi mereka yang
membuat mereka beriman, tetapi mereka masih menentang tanda-tanda
kebesaran Allah.
Nabi Isa menutup lembaran
kehidupannya yang lembut dan dan ia mulai berdakwah di jalan Allah.
Beliau didukung oleh ruhul kudus dan mukjizat-mukjizat yang luar biasa.
Al-Qur’an al-Karim menceritakan kepada kita bahwa esensi dakwah al-Masih
tidak banyak berubah dari esensi dakwah para nabi sebelumnya, yaitu
menyuarakan Islam yang intinya adalah menebarkan tauhid yang sempurna
hanya serta menyerahkan diri kepada Allah: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan
Tuhan kalian.”
Al-Qur’an memberitahu kita bahwa
yang mengatakan kalimat tersebut adalah Isa. Kalimat tersebut adalah
kalimat yang sama yang pernah disampaikan seluruh nabi, meskipun nama
mereka, sifat mereka, mukjizat mereka, baju mereka, bahasa mereka, usia
mereka, bentuk mereka, dan warna kulit mereka tidak sama. Mereka semua
bersepakat untuk menyuarakan Islam dan hanya menyerahkan diri kepada
Allah SWT serta beriman bahwa Allah SWT adalah Tuhan mereka dan Tuhan
alam semesta. Tiada sekutu bagi-Nya dan tiada yang setara dengan-Nya.
Dia Maha Esa yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tiada sesuatu
pun yang menyerupai-Nya.
Isa tidak mengatakan persoalan
tauhid lebih banyak atau lebih sedikit dari apa yang pemah disampaikan
oleh para nabi. Al-Qur’an datang kira-kira setelah lima ratus tahun dari
pengangkatan Nabi Isa. Allah SWT, melalui ilmu-Nya yang azali
mengetahui apa yang terjadi di tengah-tengah kaum Masehi di mana mereka
berselisih tentang hakikat Isa. Oleh karena itu, Al-Qur’an al-Karim
berusaha menyingkap dialog mereka yang belum terjadi. Allah SWT
berfirman:
“Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa putra Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan
selain Allah?’ Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah
mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang
ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang
gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau
perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu: ‘Sembahlah Allah, Tuhanku,
dan Tuhanmu,’ dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di
antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang
mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala
sesuatu.’” (QS. al-Maidah: 116-117)
Al-Qur’an secara tegas
mengatakan bahwa dakwah al-Masih adalah dakwah tauhid. Al-Qur’an ingin
mengatakan bahwa al-Masih terlepas dari segala tuduhan yang dialamatkan
kepadanya, yaitu tuduhan bahwa ia anak Tuhan atau ia justru tuhan itu
sendiri. “Aku tidak pernah mengatakan
kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku
(mengatakannya) yaitu: ‘Sembahluh Allah, Tuhanku, dan Tuhanmu.”
Nabi Isa pergi berdakwah di
jalan Allah SMT. Inti dakwahnya adalah, bahwa tidak ada perantara antara
Pencipta dan makhluk; tidak ada perantara antara seorang penyembah dan
yang disembah. Allah SWT menurunkan kitab Injil kepada Nabi Isa. Ia
adalah kitab suci yang datang untuk membenarkan Taurat dan berusaha
menghidupkan syariatnya yang pertama. Injil adalah cahaya, petunjuk, dan
peringatan bagi orang-orang yang bertakwa. Nabi Isa ingin meluruskan
tafsiran orang-orang Yahudi terhadap syariat di mana mereka menyampaikan
tafsir dari syariat itu secara harfiah dan sesuai dengan kepentingan
mereka. Nabi Isa menenangkan orang-orang yang yang menjaga syariat bahwa
ia tidak datang untuk menghilangkan syariat, tetapi ia datang untuk
menyempurnakannya dan menyelesaikan tugas para nabi. Namun Isa lebih
menekankan pada penafsiran esensinya, bukan kepada bentuk lahiriahnya.
Nabi Isa memberi pengertian
kepada orang-orang Yahudi bahwa sepuluh wasiat yang dibawa oleh Isa
mengandung makna-makna yang lebih dalam dari apa yang mereka bayangkan.
Wasiat yang keenam bukan hanya melarang pembunuhan materi, sebagaimana
yang mereka pahami tetapi juga menyangkut penindasan dan usaha
rnencelakakan orang lain. Sedangkan wasiat yang ketujuh bukan hanya
melarang zina (dalam pengertian terjadinya hubungan antara laki-laki
dengan perempuan melalui cara-cara yang tidak sah), tetapi zina berarti
segala bentuk perbuatan yang menjurus kepada dosa. Misalnya, ketika mata
diarahkan kepada lawan jenis disertai syahwat dan hasrat seksual, maka
itu pun berarti zina. Nabi Isa berkata: “Sesungguhnya
lebih baik bagi manusia untuk menghindarkan matanya dari sesuatu yang
dapat menghancurkannya daripada ia harus hancur dengan mata itu sendiri.
Syariat yang dibawa oleh Isa melarang untuk melanggar sumpah dan janji
Nabi Isa memberi pengertian kepada kaumnya bahwa hendaklah mereka tidak
melakukan sumpah palsu karena merupakan “kesalahan besar jika nama Allah
dibuat main-main di atas mulut-mulut manusia.” (Injil Mata 21 sampai
48).
Dakwah Nabi Isa juga berbenturan
dengan arus materialisme yang sangat mendominasi masyarakat saat itu.
Oleh karena itu, beliau mengingatkan manusia dari perbuatan munaflk,
pamrih, tamak, dan gila pujian. Begitu juga beliau mengingatkan mereka
dari sifat rakus terhadap kekayaan dunia; beliau mengingatkan agar
jangan sampai mereka menimbun harta di dunia. Yakni, hendak lah mereka
tidak memfokuskan perhatian mereka pada urusan-urusan duniawi semata
yang sifatnya tidak abadi. Tetapi hendaklah rnereka memfokuskan
perhatian mereka pada hal-hal yang bersifat samawi (ukhrawi) karena itu
bersifat abadi.
Nabi Isa memberitahu kepada
masyarakatnya agar mereka menjadi orang-orang yang teliti saat memilih
gaya hidup mereka karena pada gilirannya akal mereka akan menjadi cermin
darinya. Kecenderungan manusia itu terkait kuat dengan hatinya. Jika
hati tertuju kepada cahaya langit, maka kehidupan manusia akan tampak
bersinar tetapi jika hati tertuju pada kegelapan dunia, maka
kehidupannya pun tampak gelap. Nabi Isa mengingatkan kaumnya dari sikap
pamrih dan cinta dunia. Beliau mengajak mereka untuk teliti dalam
memilih majikan yang mereka mengabdi kepadanya karena manusia tidak
dapat mengabdi kepada dua majikan dalam satu waktu. Boleh jadi ia akan
menjadikan harta sebagai majikannya, atau boleh jadi ia akan menjadikan
Allah SWT sebagai tuannya. Jika ia menyembah harta, maka berarti ia jauh
dari penyembahan terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, hendaklah manusia
menjauhi dunia, seperti makanan dan pakaian di mana mereka akan dikuasai
oleh kegelisahan dan ketidaktenangan serta keraguan tentang penjagaan
Allah SWT kepada mereka. Allah SWT telah berjanji untuk memenuhi
kebutuhan hamba-hamba-Nya dalam kehidupan. Ketika timbul kegelisahan dan
keraguan pada diri mereka, maka itu dikarenakan keraguan mereka
terhadap penjagaan Allah SWT dan ketidakpercayaan mereka kepada
janji-janjinya dan rahmat-Nya serta bimbingan-Nya. Allah SWT-lah yang
menciptakan mereka dan Dia pula yang menjamin kehidupan mereka dan
melindungi mereka. Bahkan Dia juga melindungi makhluk yang paling kecil
urusannya seperti burung di langit dan kumbang-kumbang di kebun.
Nabi Isa memberitahu kaumnya
bahwa hanya memperhatikan dunia adalah hal yang salah, yang tidak pantas
dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Itu adalah sikap para
penyembah berhala karena penyembah berhala tidak mengetahui apa yang
lebih baik darinya, sedangkan orang-orang yang beragama mengetahui bahwa
di sana terdapat bimbingan Ilahi yang mengajak mereka untuk percaya
kepada Allah SWT dan tidak begitu peduli dengan dunia. Allah SWT
mengetahui kebutuhan-kebutuhan mereka lebih daripada apa yang mereka
ketahui; Allah SWT akan melindungi mereka dan akan menjamin kehidupan
mereka. Karena itu, yang layak bagi mereka adalah, hendaklah mereka
memohon agar diberi kekuasaan Allah SWT dan kebaikan dari-Nya. Yakni
kehidupan ruhani dan apa yang dikandungnya dari kebahagiaan abadi.
Di samping itu, Nabi Isa
menasihati mereka agar jangan terlalu pusing dengan kejadian-kejadian
yang akan datang dan persoalan-persoalan esok hari karena esok hari
sudah berjalan sebagaimana mestinya. Jika kebutuhan dan penderitaan
datang silih berganti, maka bantuan dan perlindungan Ilahi pun terus
datang silih berganti. Dakwah Nabi Isa juga berbenturan dengan dualisme
yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Kita saksikan sebagaimana
mereka suka mendapatkan kebaikan yang ditujukan kepada diri mereka, maka
mereka pun biasa untuk melakukan kejahatan kepada orang-orang lain.
Demikianlah, kehidupan orang-orang Yahudi dicemari sikap dualisme ini.
Nabi Isa mewasiatkan kepada manusia agar mereka memperlakukan sesama
mereka sesuai dengan akidah yang mengatakan: “Perlakukanlah orang lain
sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri”
Nabi Isa terus melangsungkan
dakwahnya dan mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT serta tidak
menyekutukan-Nya, sebagaimana beliau juga mengajak manusia untuk
membersihkan dan menyudkan ruhani serta hati dan berasaha memasuki
kerajaan langit. Dakwah Nabi Isa itu sangat memukul kalangan para
pendeta Yahudi. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Nabi Isa bagaikan
senjata yang siap menerpa wajah mereka dan menyatakan peperangan
terhadap mereka serta menyingkap kedok kemunafikan mereka. Mula-mula
pemerintahan Romawi tidak turut campur dalam masalah tersebut karena
mereka melihat bahwa itu hanya sekadar perselisihan internal antara
kelompok-kelompok Yahudi. Bagi mereka, selama orang-orang Yahudi sibuk
dengan masalah mereka sendiri dan tidak peduli dengan kekuasaan, mereka
pun tidak turut campur.
Kemudian para pendeta Yahudi
mulai merancang suatu persekongkolan untuk menyingkirkan Isa. Mereka
ingin mengusir Isa dan membuktikan bahwa Isa datang untuk menghancurkan
syariat Musa. Syariat Musa memutuskan untuk merajam wanita yang berzina.
Para pendeta Yahudi menghadirkan wanita yang salah yang berhak dirajam.
Mereka berkumpul di sekeliling Isa dan bertanya kepadanya: “Tidakkah syariat menetapkan untuk merajam wanita yang bersalah?” Isa menjawab: “Benar,” Mereka berkata: “Ini adalah wanita yang bersalah.”
Isa memandang wanita itu dan ia pun melihat para pendeta Yahudi. Isa
mengetahui bahwa para pendeta Yahudi lebih banyak kesalahannya daripada
wanita tersebut. Para pendeta itu menunggujawaban Isa. Jika ia
mengatakan bahwa wanita itu tidak berhak dibunuh, maka berarti ia
menentang syariat Musa, dan jika ia mengatakan bahwa ia berhak dibunuh,
maka ia justru menghancurkan dirinya sendiri yang membawa syariat cinta
dan toleransi. Nabi Isa memahami bahwa ini adalah persekongkolan. Beliau
tersenyum dan wajahnya tampak bercahaya. Kemudian beliau melihat para
pendeta Yahudi dan wanita itu sambil berkata: “Barangsiapa di antara kalian yang tidak memiliki kesalahan, maka hendaklah ia merajam wanita itu.”
Suara beliau yang keras itu
memecahkan keheningan tempat penyembahan. Beliau menetapkan peraturan
baru yang berhubungan dengan hukum yang dijatuhkan kepada orang yang
ber-buat salah. Hendaklah orang yang tidak berbuat salah menghukum orang
yang salah dan tidak berhak seseorang pun dari kalangan manusia untuk
menghukum orang yang bersalah jika ia sendiri bersalah, tetapi yang
menghukumnya adalah Allah SWT yang Maha Suci dan Maha Tinggi dan Allah
SWT adalah Maha Pengasih di antara yang mengasihi.
Nabi Isa keluar dari tempat
penyembahan itu. Tiba-tiba, wanita itu mengejar dari belakangnya. Lalu
wanita itu mengeluarkan dari pakaiannya satu botol dari minyak yang
berharga. Ia berdiri di depan Isa dan menjatuhkan dirinya di atas kedua
kaki Isa lalu menciumnya dan membasuhnya dengan minyak wangi dan air
mata. Setelah itu, ia mengeringkan kedua kakinya dengan rambutnya. Bagi
wanita itu, al-Masih mempakan harapan terakhir yang dapat
menyelamatkannya. Lalu keluarlah dari belakang Isa seorang tokoh pendeta
Yahudi. Ia berdiri menyaksikan pemandangan tersebut dan ia merasa kagum
terhadap kasih sayang Isa. Isa melihat kepadanya dan bertanya; “Seorang kreditor yang memiliki dua orang debitor, salah satunya berhutang lima ratus dinar dan yang lain lima puluh dinar.” Pendeta itu berkata: “Ya.” Isa berkata: “Tak
seorang pun dari mereka berdua yang merniliki uang yang cukup untuk
melunasi uangnya. Lalu si kreditor memaafkan mereka dan membebaskan
mereka dari hutang.” Pendeta berkata: “Ya.” Kemudian Isa bertanya: “Siapa di antara mereka yang paling senang kepada kreditor itu?” Pendeta menjawab: “Tentu yang berhutang lebih besar.” Isa berkata:
“Benar apa yang engkau ucapkan. Lihadah wanita ini. Aku telah masuk ke
rumahmu tetapi engkau tidak memberikan kepadaku air agar aku dapat
membasuh wajahku, tetapi wanita itu membasuh kedua kakiku dengan air
mata lalu ia mengusapnya dengan rambut kepalanya. Begitu juga engkau
tidak memberikan ciuman kepadaku tetapi wanita ini tidak merasa puas
dengan hanya mencium kedua kakiku. Jadi, hatimu sungguh sangat keras
tetapi hati wanita itu dipenuhi dengan rasa cinta. Maka barangsiapa yang
banyak mencintai niscaya kesalahan-kesalahannya akan diampum.” Kemudian Isa menoleh ke wanita itu dan memerintahkannya untuk bangkit dari tanah sambil berkata: “Ya Allah, ampunilah wanita ini dan hilangkanlah kesalahan-kesalahannya.”
Nabi Isa berusaha menyadarkan
para pendeta Yahudi bahwa para dai yang menyeru di jalan Allah SWT
bukanlah algojoalgojo yang bengis yang menerapkan hukum syariat tanpa
melihat keadaan masyarakat yang bersalah, tetapi mereka datang dan
membawa ajaran Allah SWT yang merupakan ajaran yang penuh dengan rahmat
kepada manusia. Jadi, rahmat adalah tujuan semua dakwah Ilahi ini.
Bahkan diutusnya para nabi itu sendiri mengandung rahmat Allah SWT
terhadap kaum mereka.
Isa terus berdoa kepada Allah
SWT agar merahmati kaumnya. Beliau menyuruh kaumnya agar menyayangi diri
mereka sendiri dan beriman kepada Allah SWT. Kehidupan Nabi Isa
menggambarkan kezuhudan dan ketaatan dalam ibadah. Mu’tamar bin Sulaiman
berkata, sebagaimana diri wayatkan Ibnu ‘Asakir: “Nabi
Isa menemui kaumnya dengan memakai pakian dari wol. Beliau keluar dalam
keadaan tidak beralas kaki sambil menangis serta wajahnya tampak pucat
karena kelaparan dan bibimya tampak kering karena kehausan. Nabi Isa
berkata, “salam kepada kalian wahai Bani Israil. Aku adalah seseorang
yang meletakkan dunia di tempatnya sesuai dengan izin Allah SWT, tanpa
bermaksud membanggakan diri. Apakah kalian mengetahui di mana rumahku?”
Mereka menjawab: “Di mana rumahmu wahai Ruhullah?”
Nabi Isa menjawab:
“Rumahku adalah mesjid, wewangianku adalah air makananku adalah rasa
lapar, pelitaku adalah bulan di waktu malam dan salatku di waktu musim
dingin di saat matahari terletak di timur, bungaku adalah
tanaman-tanaman bumi, pakaianku terbuat dari wol, syiarku adalah takut
kepada Tuhan Yang Maha Mulia, teman-temanku adalah orang-orang yang
fakir, orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang miskin. Aku memasuki
waktu pagi dan aku tidak mendapati sesuatu pun di rumahku begitu juga
aku memasuki waktu sore dan aku tidak menemukan sesuatu pun di rumahku.
Aku adalah seseorang yang jiwanya bersih dan tidak tercemar. Maka
siapakah yang lebih kaya daripada aku?”
Isa terus melakukan dakwahnya.
Ia didukung oleh mukjizat dari Allah SWT. Nabi Isa mampu membuat bentuk
burung dari tanah kemudian ia meniupnya, maka tanah itu menjadi burung
dengan izin Allah SWT. Selain itu, ujung bajunya yang sederhana jika
tersentuh orang yang sakit, maka orang itu akan sembuh. Bahkan jika Isa
meletakkan tangannya di atas mata orang yang buta atau orang yang
terkena sakit belang niscaya ia akan sembuh. Jadi, Nabi Isa didukung
oleh mukjizat yang luar biasa. Bahkan beliau mampu menghidupkan
orang-orang yang mati dari kuburan mereka sehingga mereka keluar dalam
keadaan hidup dengan izin Allah SWT.
Para ahli tafsir mengatakan
bahwa Nabi Isa menghidupkan empat orang. Pertama, al-Azir yaitu
temannya. Kemudian dua orang anak laki-laki dari seorang tua, dan
seorang anak perempuan satu-satunya dari seorang ibu. Mereka adalah tiga
orang yang mati di zaman Nabi Isa. Ketika orang-orang Yahudi melihat
hal tersebut, mereka berkata: “Engkau
menghidupkan orang-orang yang mati dan kematian mereka tidak lama
.Barangkali mereka tidak mati tapi mereka sekadar mengalami keadaan
tidak sadarkan diri atau mati suri." Lalu mereka meminta kepada Nabi Isa untuk membangkitkan Sam bin Nuh dari kematiannya.
Para ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Isa bertanya kepada mereka, “Di manakah kaum kuburkan Sam bin Nuh?”
Mereka keluar bersama Isa sehingga mereka mencapai kuburan. Lalu Nabi
Isa berdoa kepada Allah SWT agar menghidupkan orang yang mati di situ.
Sam bin Nuh keluar dari kuburannya, dan rambut dikepala-nya tampak
beruban. Isa berkata kepadanya: “Bagaimana rambut di kepalamu bisa beruban, sementara di zamanmu kau tidak ada uban,” Sam berkata: “Ya
Ruhullah, aku mendengar engkau berdoa untukku lalu aku mendengar suara
yang mengatakan, aku akan mengabulkan wahai Ruhullah. Aku mengira bahwa
kiamat telah tiba. Karena takutnya kepada hal itu sehingga rambut di
kepalaku beruban.”
Apa pun yang dikatakan berkaitan
dengan cerita itu yang menyebutkan tentang bagaimana Nabi Isa
menghidupkan orang-orang yang mati, namun kita tidak mengetahui konteks
Al-Qu’ran serta perincian-perincian yang menjelaskan hal tersebut. Allah
SWT hanya menyebutkan bahwa Isa menghidupkan orang-orang yang mati
dengan izin-Nya. Kita percaya bahwa Nabi Isa mampu menghidupkan mereka
tetapi kita tidak mengetahui apakah mereka mati kembali setelah
dihidupkan atau mereka sempat menjalani kehidupan selama beberapa saat.
Nabi Isa terus berjalan di jalan Allah SWT. Beliau membuat bagi mereka
apa yang disebut dengan hukum ruh. Beliau menaiki gunung dan para
sahabat-sahabatnya berdiri di sekitarnya. Nabi Isa melihat orang-orang
yang beriman kepadanya yang terdiri dari orang-orang yang fakir,
orang-orang yang menderita, dan orang- orang yang sedih. Jumlah mereka
sedikit sebagaimana lazimnya jumlah para pengikut nabi.
Gunung diliputi dengan awan tipis dan turunlah hujan gerimis. Isa mulai berbicara: “Sungguh
beruntung bagi orang-orang miskin karena mereka memiliki kerajaan
langit. Beruntunglah orang-orang yang sedih karena mereka akan menjadi
orang-orang yang mulia. Beruntunglah yang diserahi amanat karena mereka
akan mewarisi bumi. Beruntunglah orang-orang yang lapar dan haus karena
mereka akan dikenyangkan. Beruntunglah orang-orang yang menyayangi
karena mereka akan disayangi. Beruntunglah orang-orang yang bersih
hatinya karena mereka akan melihat Allah SWT. Beruntunglah orang-orang
yang tertindas demi mempertahankan kebenaran karena mereka akan
mendapatkan kerajaan langit. Kalian adalah garam bumi jika garam telah
rusak, maka siapa gerangan yang dapat mengembalikannya menjadi garam
kembali.” Renungkanlah kedalaman ungkapan dari Nabi Isa, “kalian adalah garam bumi.”
Garam adalah sesuatu yang
memberikan rasa yang khusus dan tanpa garam makanan akan menjadi hambar.
Yakni, tanpa orang-orang mukmin, maka cita rasa kehidupan terasa tidak
bermakna; tanpa kehadiran orang-orang Muslim dan perbuatan mereka yang
ikhlas terhadap Allah SWT akan tampak kehidupan sangat berat dan tidak
berarti. Di samping itu, kehadiran manusia sebagai khalifah Allah SWT di
muka bumi pun sia-sia, dan keagungan manusia sebagai hamba Allah SWT
pun tidak bermakna, dan pada gilirannya kehidupan akan dipenuhi dengan
kejahatan dan keburukan.
Allah SWT teiah mewahyukan kepada “garam bumi” agar mereka beriman kepada Nabi Isa. Allah SWT berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut-pengikut Isa yang setia: ‘Berimanlah
kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku.’ Mereka menjawab: ‘Kami telah
beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).’” (QS. al-Maidah: 111)
Al-Hawariyin mengakui kebenaran
ajaran Nabi Isa dan mereka menyatakan keislaman kepadanya, sebagaimana
ratu Saba’ mengakui kebenaran ajaran Nabi Sulaiman dan menyatakan
keislaman padanya, dan sebagaimana semua para nabi menyatakan keislaman.
Hakikat ajaran para nabi terbatas kepada pernyataan keislaman dan semua
nabi menyeru kepada jalan tauhid dan jalan Islam. Islam dalam pandangan
kami memiliki makna yang lebih dalam daripada tauhid. Pengakuan
seseorang terhadap Allah SWT dan keimanan akan keesaan-Nya dalam
menciptakan makhluk tidak mencegah orang itu untuk berbuat dosa,
sedangkan keislaman atau penyerahan hati dan anggota badan serta
pemikiran kepada Allah SWT merupakan suatu tingkatan sedikit lebih
tinggi. Ini adalah tingkat kepatuhan orang-orang yang patuh dan puncak
ketauhidan orang-orang yang bertauhid. Itu adalah keserasian antara
tindakan dengan pikiran, yaitu usaha manusia untuk menghindari kesalahan
dan memurnikan amal hanya untuk Allah SWT. Al-Qur’an al-Karim
memberitahu kita bahwa Allah SWT menyampaikan wahyu kepada al-Hawariyin
agar mereka beriman kepadanya dan kepada Rasul-Nya Isa.
Marilah kita renungkanlah
sejenak tentang wahyu Allah SWT terhadap Hawariyin. Kita mengetahui
bahwa Allah SWT mewahyukan kepada manusia dan kepada makhluk-makhluk
lainnya. Allah SWT berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada lebah…” (QS. an-Nahl: 68)
Yang dimaksud dengan wahyu di
sini adalah memberikan ilham kepada makhluk agar mereka menuju ke jalan
fitrahnya yang telah Allah SWT gariskan di atasnya sehingga mereka
mencapai jalan kesempurnaan. Tidakkah Anda ingat tentang jawaban Nabi
Musa terhadap pertanyaan Fira’un:
“Fir’aun berkata: ‘Siapakah Tuhan kamu berdua wahai Musa. ” (QS. Thaha: 49)
“Musa
berkata: ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada
tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinsa petunjuk. ”
(QS. Thaha: 50)
Makna di sana dan di sini sama.
Makna yang sama tersebut diterapkan kepada kaum Hawariyin di mana wahyu
Allah SWT terhadap mereka berupa pemberian ilham kepada mereka demi
kebaikan mereka dan kebahagiaan mereka, dan wahyu ini tidak bertentangan
dengan ikhtiar mereka dan usaha mereka serta keinginan mereka, bahkan
tidak bertentangan dengan kebebasan mereka. Allah SWT telah melihat hati
mereka yang dipenuhi dengan kebaikan. Dia melihat mereka sebagai garam
bumi, maka Allah SWT mewahyukan kepada mereka agar beriman kepadanya dan
rasul-Nya sehingga mereka pun beriman dan mereka pun bersaksi bahwa
mereka orang-orang yang berserah diri atau Muslim.
Tampaknya kaum Hawariyin
menyembunyikan keimanan mereka sehingga Isa merasakan kekufuran kaumnya
semakin menjadi-jadi lalu Isa memanggil mereka: “Siapakah di antara kalian yang menolong aku menuju jalan Allah SWT?” Allah SWT berfirman:
“Maka tatkala
Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani Israil) berkatalah dia:
‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk menegakkan (agama)
Allah?’ Para Hawariyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: ‘Kamilah
penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan
sahsikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan
diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau
turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke
dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi.’” (QS. Ali ‘Imran: 52-53)
Nas Al-Quran menunjukkan bahwa
Nabi Isa mengajak mereka untuk mengikuti Islam sehingga mereka pun
berserah diri; nas Al-Quran menegaskan bahwa Nabi Isa menyampaikan kabar
gembira dengan kedatangan seorang rasul yang datang setelahnya yang
bernama Ahmad. Dikatakan dalam Al-Qur’an:
“Dan
(ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: ‘Hai Bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab yang
turun sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan
(datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad
(Muhammad).’ Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa
bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: ‘Ini adalah sihir yang nyata.’”
(QS. Shaff: 6)
Kita tidak mengetahui secara
pasti kapan Nabi Isa menyampaikan kabar berita tentang kedatangan
seorang rasul ini yang datang setelah masanya, yaitu Ahmad saw. Apakah
kabar berita itu beliau sampaikan dipermulaan pengutusannya kepada
manusia, atau apakah beliau menyampaikan kabar itu pada akhir masa
dakwahnya dan sebelum beliau diangkat ke langit? Tetapi melihat konteks
Al-Qur’an tampaknya kabar berita tersebut itu disampaikan di permulaan
dakwahnya, sebagaimana firman-Nya: “Maka
tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang
nyata, mereka berkata: ‘lni adalah sihir yang nyata.‘”
Kata ganti (dhamir) dalam ayat
tersebut kembali kepada Nabi Isa. Ayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi
Isa menyampaikan kabar gembira dengan datangnya Muhammad atau Ahmad
ketika Allah SWT mengutus kepada kaumnya. Kemudian terjadilah di hadapan
Nabi Isa berbagai macam mukjizat yang luar biasa seperti penghidupan
orang yang mati, peniupan tanah, dan sebagainya. Ketika Nabi Isa datang
membawa bukti-bukti yang jelas ini, maka mereka menuduhnya bahwa ia
membawa sihir. Nabi Isa mengetahui bahwa tuduhan semacam ini telah
dialamatkan kepada sebagian besar para nabi sebelumnya. Beliau juga
mengetahui bahwa nabi yang terakhir pun akan mendapatkan tuduhan yang
sama. Oleh karena itu, nabi yang mulia itu tetap berdakwah di jalan
Allah SWT dan tidak peduli dengan tuduhan kaumnya yang mengatakan bahwa
beliau membawa sihir.
Kemudian pertentangan antara
Nabi Isa dan Bani Israil semakin meningkat. Mereka adalah orang-orang
yang hatinya keras, yang membeku di hadapan kebenaran. Isa datang kepada
mereka dan menghancurkan segala pemikiran mereka dan kehidupan mereka
serta sistem mereka. Sesungguhnya dakwah Nabi Isa terfokus kepada
kebenaran, kedamaian dan keadilan dan pada saat yang sama mengumumkan
peperangan terhadap kehidupan orang-orang yang lalim yang telah menjauhi
kebenaran. keadilan, dan kedamaian. Injil Mata menyebutkan melalui
lisan Isa: “Jangalah kalian mengira bahwa aku
membawa kedamaian ke muka bumi. Aku tidak datang hanya membawa
kedamaian tetapi aku datang membawa pedang.”
Kalimat tersebut menyiratkan
hakikat yang penting dari hakikat dakwah para nabi. Para nabi adalah
pejuang sejati di mana senjata yang mereka gunakan di medan peperangan
beraneka ragam. tetapi mereka pada hakikatnya adalah pejuang. Mereka
memulai peperangan mereka dengan satu pemikiran yaitu suatu tekad
mengatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT. Pemikiran itu tentu
berbenturan dengan kepercayaan akan tuhan-tuhan yang diyakini oleh
manusia, baik tuhan-tuhan yang terbuat dari emas atau batu. Pemikiran
itu sangat mengganggu ketenangan orang-orang yang lalim atau penguasa
yang bengis serta sangat melawan kepentingan mereka, sehingga para raja
dan para penguasa seperti biasanya bergerak menentang nabi kecuali orang
yang mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Para pembesar dari kalangan
kaum nabi menentang nabi. Al-Mala’ adalah para pembesar sebagaimana
telah kami jelaskan dalam kisah Nabi Nuh dan sesudahnya. Kemudian Nabi
terus melangsungkan peperangan mewujudkan tekadnya: Nabi meletakkan
dasar peperangannya dengan menyampaikan ketuhanan Allah SWT.
Setelah meneguhkan dasar yang
kuat ini, Nabi menetapkan keadilan. Tak seorang pun berhak untuk
menghinakan seseorang atau menjadikannya sebagai budak karena
penghambaan hanya pantas ditujukan kepada Allah SWT. Manusia adalah sama
di antara mereka sehingga tidak berhak seseorang untuk memanfaatkan
kekuatan manusia untuk membangun kejayaan pribadinya atau unruk
memperkaya dirinya dengan merugikan orang lain, atau menghancurkan
hak-hak mereka atau berbuat buruk terhadap mereka dalam berbagai
bentuknya. Jadi, inti dakwah para nabi berarti mengganti dan mengubah
sistem yang rusak yang didirikan oleh para pembesar kaumnya. Kalau
begitu, ia adalah dakwah yang menyatakan peperangan dan karena itu
seseorang nabi harus membava senjata. Setelah meneguhkan pemikiran
tersebut, dimulailah peperangan. Seorang nabi menggunakan pedang. Ia
berlindung di balik senjata dan senjata yang dimiliki oleh setiap nabi
berbeda-beda.
Mula-mula seorang nabi tidak
menggunakan senjata apa pun dalam peperangannya selain berusaha untuk
membangkitkan akal. Lalu peperangan semakin meningkat sehingga nabi
terpaksa untuk menggunakan senjata. Para musuh memaksanya untuk
menggunakan senjata sehingga para nabi pun menggunakan senjata. Di sini
setiap nabi mempunyai senjata yang berbeda-beda. Terkadang senjata
seorang nabi berupa mukjizat yang dapat menghentikan langkah dan
menghancurkan mereka seperti taufan (kisah Nabi Nuh) atau angin (kisah
Nabi Hud), dan terkadang senjata para nabi adalah mukjizat yang
membantunya untuk mengalahkan musuh-musuhnya secara pasti seperti
ditundukkannya jin dan burung baginya (kisah Nabi Sulaiman) dan senjata
nabi berupa mukjizat yang menyelamatkannya dari tipu daya musuh seperti
berubahnya api menjadi sesuatu yang dingin dan membawa keselamatan
(kisah Nabi Ibrahim) dan terkadang senjata nabi yang luar biasa yang
memperkuat dakwahnya seperti menghidupkan orang-orang yang mati (kisah
Nabi Isa) dan terkadang senjata nabi berupa pedang yang dipegang di
tangannya saat ia melangsungkan peperangan dan mempertahankan dakwahnya
(kisah Nabi Muhammad saw).
Jadi, senjata para nabi
berbeda-beda, baik dalam bentuk kualitas maupun kapasitasnya. Allah SWT
mengetahui kondisi mereka lebih dari apa yang kita ketahui sehingga
Allah SWT sangat tepat ketika memilihkan senjata untuk setiap nabi. Dan
tak seorang nabi pun yang tinggal di suatu tempat sementara ia tidak
berjuang dan tidak bergerak dan tidak mengalami penderitaan dari
kaumnya. Oleh karena itu, sesuai dengan kadar kesabaran para nabi dan
perjuangan mereka dalam menyampaikan dakwah di jalan Allah SWT, mereka
layak untuk mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Allah SWT.
Isa bin Maryam telah
menyampaikan bahwa beliau adalah seorang pejuang yang membawa senjata.
Kata-katanya sendiri berusaha menghancurkan masyarakat yang keras,
masyarakat yang bodoh. Masyarakat di zaman Nabi Isa berdiri di atas
kesalahan, kesyirikan, kebohongan, kemunafikan, meterialisme, pamrih,
kelaliman dan tidak ada kebebasan. Maka melalui kalimat-kalimatnya, Nabi
Isa menghancurkan semua ini. Nabi Isa memberitahu kaumnya bahwa
dakwahnya di jalan Allah SWT bukan terfokus pada dakwah kedamaian tetapi
dalam hal-hal tertentu dakwahnya pun berisi pernyataan perang. Sesuatu
menjadi tidak bernilai ketika tidak berusaha dipertahankan oleh yang
bersangkutan sampai tetes darah penghabisan. Timbulnya
pemikiran-pemikiran, nilai-nilai dan prinsip-prinsip tidak hanya
bersandar kepada idealismenya tetapi nilainya justru bersandar kepada
usaha keras yang dikerahkan oleh para pembawanya dalam rangka
mempertahankannya. Tanpa peperangan dan mengangkat senjata dakwah para
nabi akan menjadi pemikiran-pemikiran yang sekadar idealisme yang tidak
akan menghentikan seseorang pun dan tidak akan membangkitkan seseorang
pun.
Kita mengetahui bahwa sebagian
besar nabi berhadapan dengan kelompok besar dari masyarakat yang
menentangnya dan berusaha memeranginya. Mula-mula mereka mengejeknya dan
pada akhirnya mereka berusaha untuk membunuhnya. Kita mengetahui bahwa
para nabi berusaha mati-matian untuk memperjuangkan kebenaran yang
dibawanya. Melalui kisah para nabi, kita mengetahui bahwa bagaimana
serangan masyarakat, para pembesar, dan para penguasa terhadap para nabi
tetapi pada saat yang sama kita seakan-akan tidak melihat bagaimana
serangan para nabi terhadap mereka. Penjelasan dari hal itu sangat
mudah. Peperangan yang dibangkitkan oleh kebatilan atas para nabi
didukung oleh alat-alat yang canggih dan sangat kuat di mana mereka
memiliki berbagai macam sarana untuk menjatuhkan para nabi, sedangkan
para nabi hanya menyandarkan kekuatan dari yang Maha Benar, yaitu Allah
SWT; kekuatan yang tidak berdasarkan pada sebab-sebab tertentu atau
tidak peduli dengan tuduhan-tuduhan atau kegaduhan.
Para nabi hanya terus
melangsungkan dakwahnya yang berdasarkan kepada usaha membangkitkan akal
dan hati serta menvucikan ruh. Keteguhan sikap para nabi ini bagi
musuh-musuh mereka merupakan problem yang besar. Dakwah nabi juga
menjamah suatu keluarga di mana seorang ayah dapat beriman sementara
seorang anak dapat menentang atau seorang anak dapat beriman sementara
si ayah dapat menentang atau seorang istri beriman atau seorang suami
kafir atau seorang suami beriman sementara si istri kafir. Perbedaan
anak laki-laki dengan ayahnya dan seorang istri dengan suaminya
menimbulkan permusuhan di dalam rumah-rumah. Dengan terjadinya hal ini,
masyarakat bergerak untuk menentang nabi dan semakin meningkatkan
tekanan-tekanan mereka kepadanya sehingga permusuhan dan kebencian
mereka kepada nabi semakin meruncing. Mereka pun berusaha untuk melawan
nabi itu yang bagi mereka telah memisahkan antara ayah dan anaknya atau
ia datang untuk memisahkan seorang anak perempuan dari ibunya.
Kemudian seorang nabi meletakkan
suatu undang-undang bagi orang yang mengikutinya, yaitu undang-undang
pokok yang membatalkan undang-undang yang tidak sesuai dengannya.
Undang-undang ini tampak dalam kalimat nabi: “pertama-tama cinta kepada Allah dan kemudian cinta kepada nabi dan setelah itu cinta kepada sesama manusia.” Makna-makna yang demikian ini tercermin secara jelas dari kalimat-kalimat Isa yang disampaikan oleh Injil Mata pada pasal ke-10.
Al-Masih berkata: “Janganlah
engkau mengira bahwa aku datang membawa kedamaian di bumi, aku datang
bukan hanya membawa kedamaian tetapi pedang. Aku datang untuk menjadikan
seorang anak berbeda dengan ayahnya dan seorang anak perempuan berbeda
dengan ibunya sehingga musuh seseorang justru terdapat pada keluarganya.
Maka barangsiapa yang mencintai ibunya dan ayahnya lebih dari
kecintaannya kepadaku, maka ia tidak berhak mencintaiku, dan barangsiapa
yang mencintai anak laki-lakinya dan perempuannya lebih dariku, maka ia
tidak berhak mengikutiku. Meskipun kehidupannya tampak beruntung
sebenarnya ia telah rugi, dan barangsiapa yang kehidupannya merugi
karena aku, maka sebenarnya ia telah beruntung.”
Penjelas Injil mengatakan: “Pemikiran
orang-orang Yahudi tentang al-Masih adalah, ketika al-Masih datang,
maka semua pengikutnya akan merampas kekayaan dan kejayaan di dunia ini
lalu ia hanya memberi mereka ketenangan dan kedamaian. Ketika al-Masih
datang, ia menjelaskan kepada para muridnya bahwa hal tersebut tidak
benar, karena jika ia datang untuk memberikan kedamaian kepada para
pengikutnya, maka mereka akan terancam kelaliman dan mereka akan mati
karena tajamnya pedang. Maka hendaklah mereka tidak mengharapkan
kedamaian tetapi peperangan; hendaklah mereka tidak mengharapkan
keserasian tetapi perpecahan.” Demikianlah masyarakat Yahudi terbagi
menjadi dua kelompok: kelompok orang-orang yang fakir, orang-orang yang
lemah dan orang-orang yang bersih hatinya bersama Isa, sedangkan
kelompok mayoritas menentang Isa. Bahkan kelompok mayoritas kafir itu
sering menyakiti Isa.
Injil Mata menceritakan
penderitaan al-Masih pada pasal ke-11. Ia menceritakan bagaimana
kemarahan al-Masih terhadap orang-orang yang tidak mengabdi kepada
Yuhana (Yahya) dengan baik atau mengabdi kepadanya secara pribadi dengan
baik. Injil Mata menguntip pernyataan Isa sebagai berikut: “Dengan apa
aku menyerupakan generasi ini, Sesungguhnya mereka menyerupai anak-anak
kecil yang duduk di pasar yang berteriak-teriak memanggil teman-teman
mereka sambil berkata: “Kami telah meniup seruling tetapi kalian tidak menari. Kami mengasihi kalian tetapi kalian tidak menangis.” Yuhana telah datang dan tidak makan dan minum tetapi mereka mengatakan, "sesungguhnya ia terkena setan." lalu datanglah seorang anak manusia yang makan dan minurn lalu mereka mengatakan, "ia adalah seorang yang ahli makan dan ahli minum khamer.”
Dokumen itu menunjukkan
penderitaan al-Masih dan menyingkap peperangan yang akan dihadapinya.
Penderitaan yang dialami oleh hati suci al-Masih adalah sebagai tindakan
generasi tersebut di mana beliau diutus di dalamnya sebagai orang yang
memberi petunjuk dan menyampaikan berita gembira tentang kerajaan
langit. Beliau menyerupakan generasi Yahudi itu dengan anak-anak kecil
yang duduk-duduk di pasar sambil berteriak-teriak memanggil teman-teman
mereka sambil berkata: “kami telah meniup seruling tetapi kalian tidak menari. Kami berbelas kasih kepada kalian tetapi kalian tidak menangis.”
Al-Masih mengisyaratkan dengan pernyataan itu tentang apa yang
diperbuat anak-anak kecil saat mereka bermain-main, di mana biasanya
mereka meniru orang-orang yang besar saat mereka bergembira dengan
menari-nari dan saat mereka sedih mereka menangis. Demikianlah mereka
sangat cepat berubah antara bergembira dan sedih tanpa melalui
pertimbangan dan kesadaran. Demikianlah keadaaan orang-orang Yahudi saat
mereka mengabdi kepada Yahya, kemudian saat mereka mengabdi kepada
al-Masih. Yahya telah datang kepada mereka dalam keadaan menangis, tidak
makan dan tidak minum dari apa yang mereka makan dan yang mereka minum.
Ia tidak bergaul dengan sembarangan manusia. Telah datang kepada mereka
seorang nabi yang ahli ibadah tetapi kebanyakan mereka menolaknya dan
mereka mengatakan bahwa ia terkena setan. Kemudian datang kepada mereka
al-Masih di mana ia makan dan minum bersama pada acara walimah dan hari
raya lalu mereka pun menolaknya dan mengatakan bahwa ia suka makan dan
minum khamer padahal beliau adalah cermin terbesar dalam menghilangkan
syahwat dan kesucian yang sempurna.
Alhasil, generasi itu adalah
generasi yang main-main Iayaknya anak kecil. Tidak ada sesuatu pun yang
dapat mempengaruhi mereka dan mereka tidak mau bertaubat. Meskipun
demikian, di sana terdapat kelompok kecil dari manusia yang terpengaruh
dan bertaubat. Dokumen tersebut menunjukkan betapa beratnya penderitaan
Isa di tengah-tengah generasi yang sezaman dengannya. Isa mengalami
banyak penderitaan dalam menyampaikan dakwahnya. Isa banyak menderita di
tengah-tengah kaum yang pikiran mereka belum matang. Mereka tak ubahnya
seperti anak-anak kecil yang suka bermain-main. Kaum yang tak tergugah
oleh kalimat-kalimat yang baik dan mereka tidak bergerak atau tersentuh
ketika menyaksikan mukjizat-mukjizat yang luar biasa.
Allah SWT kembali memperkuat Isa
dengan mukjizat-mukjizat yang mengagumkan. Mukjizat di sini adalah
senjata yang diberikan Allah SWT kepada nabi-Nya agar nabi tersebut
menjadi tenteram dan agar menambah keyakinan orang-orang yang beriman
kepadanya, sedangkan bagi orang-orang kafir mukjizat tersebut justru
menambah kekufuran mereka sehingga Allah SWT memberikan pembalasan yang
setimpal kepada kedua kelompok tersebut. Mukjizat yang Allah SWT berikan
kepada Isa bin Maryam yang lain adalah, Allah SWT mengabulkan doa
Hawariyin dengan menurunkan makanan dari langit. Allah SWT berfirman:
“(Ingatlah),
ketika pengikut-pengikut Isa berkata: ‘Hai Isa putra Maryam, bersediakah
Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?’ Isa menjawab:
‘Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman.’
Mereka berkata: ‘Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram
hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada
kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.‘ Isa
putra Maryam berdoa: ‘Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada hami
suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya
bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang
sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah kami
dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama.’ Allah berfirman:
‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa
yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan) itu, maka sesungguhnya
Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan
kepada seorang pun di antara umat manusia.’” (QS. al-Maidah: 112-115)
Barangkali kita terheran-heran ketika memperhatikan perkataan Hawariyin, “wahai
Isa bin Maryam, apakah Tuhanmu mampu?” Mungkin pertama-tama yang
terlintas dalam pikiran kita berkenaan dalam ayat tersebut adalah,
keraguan Hawariyin terhadap kekuatan atau kekuasaan Allah SWT. Bagaimana
hal itu mampu mereka laku-kan sedangkan mereka adalah murid-murid Isa
yang beriman dan berserah diri kepada Allah SWT? Berkaitan dengan tafsir
ayat tersebut, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan,
bahwa pertanyaan mereka ‘apakah Tuhanmu mampu?’ Yakni, berarti apakah
Tuhanmu bisa? Kemudian mereka mencarikan alasan yang membenarkan
perkataan Hawariyin itu dengan mengatakan bahwa pertanyaan itu
dilontarkan saat mereka baru saja mengikuti Isa, sebelum mereka banyak
mengetahui Allah SWT. Oleh karena itu, Isa berkata dalam jawabannya
terhadap pertanyaan mereka, bertakwalah kepada Allah SWT jika kamu
benar-benar orang mukmin. Yakni, janganlah kalian meragukan kekuasaan
atau kekuatan Allah SWT.
Qurthubi menampik tafsir ini.
Hawariyin adalah para penolong Allah SWT, sesuai dengan nas Al-Qur’an
dan tentu tidak boleh bagi penolong Allah SWT untuk tidak mengetahui
kekuatan-Nya, apalagi meragukan kekuasaan-Nya. Sebagian ulama mengatakan
bahwa perkataan tersebut dikeluarkan orang-orang yang bersama Hawariyin
yang berasal dari Bani Israil dan tidak seorang pun dari Hawariyin yang
mengatakan demikian kecuali mereka hanya sekedar menukil perkataan
tersebut. Ada pendapat lain lagi yang mengatakan bahwa ayat tersebut
tidak dibaca ‘hal yastathi’ rabbuka‘ tetapi dibaca ‘hal tastathi’
rabbaka’ sebagaimana bacaan Aisyah dan sebagaimana dibaca oleh Nabi.
Maknanya, “apakah engkau mampu menghadirkan kekuatan Tuhanmu terhadap
apa yang engkau minta.” Ada pendapat yang lain mengatakan ia dibaca ‘hal
tastathi’ rabbaka’, yakni “apakah engkau mampu untuk berdoa kepada
Tuhanmu atau meminta-Nya.”
Sebagian kaum sufi berpendapat
bahwa kaum Hawariyin bukan tidak mengetahui kekuasaan Allah SWT tetapi
pertanyaan itu justru bersumber dari cinta kepada Allah SWT dan
keinginan menyaksikan kekuasaan Allah SWT. Sikap mereka ini menyerupai
dengan perbedaan tingkatan sikap Nabi Ibrahim as ketika beliau
mengatakan:
“Ya Tuhanku,
perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati?’
Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya?’ Ibrahim menjawab: ‘Saya
telah percaya, tetapi agar bertambah mantap hatiku.’” (QS. al-Baqarah:
260)
Oleh karena itu, kaum Hawariyin berkata: “Dan hati kami menjadi mantap,” sebagaimana Nabi Ibrahim berkata: “Agar bertambah mantap hatiku.” Inilah tafsir yang membuat kita puas dan membuat hati kita tenang. Nabi Isa menjawab pertanyaan mereka: ‘Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman.’ Yakni,
hati-hatilah kalian dengan banyak bertanya dan menguji Allah SWT karena
kalian tidak mengetahui apa yang boleh kalian minta untuk didatangkan
bukti-bukti kekuasaan Allah SWT. Perkataan Nabi Isa, jika kalian
benar-benar beriman terfokus kepada apa yang dibawanya yang berupa
mukjizat-mukjizat atau tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Nabi Isa
bermaksud untuk mengatakan, "sesungguhnya apa yang telah aku bawa dari mukjizat-mukjizat bagi kalian seharusnya sudah cukup membuat hati kalian manta.“Mereka berkata: ‘Kami
ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya
kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi
orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.’”
Kaum Hawariyin menjelaskan
kepada Isa sebab pertanyaan mereka ketika beliau melarangnya. Jika Nabi
Isa keluar, maka beliau diikuti lima ribu orang atau lebih. Sebagian
mereka dari kalangan Hawariyin dan sebagian yang lain campuran di antara
pengikutnya dan musuhnya. Dikatakan bahwa mereka berpuasa dan mereka
tidak mempunyai makanan, lalu para pengikut berkata kepada kaum
Hawariyin, “Tanyalah kepada Isa apakah ia mampu berdoa kepada Tuhannya sehingga diturunkan kepada kita makanan dari langit.” Kemudian
kaum Hawariyin pergi dengan membawa surat kaum itu kepada Isa. Ketika
Isa meminta mereka untuk merasa cukup dengan mukjizat-mukjizat
sebelumnya, mereka kembali melontarkan kebenaran permintaan mereka: ‘Kami ingin memakan hidangan itu." Mereka adalah orang-orang yang lapar sementara mereka tidak mempunyai makanan. Dan supaya tenteram hati kami.
Hati kaum Hawariyin menjadi
tenang seperti tenangnya hati Ibrahim. Dan para pengikut pun merasa
hatinya tenang dan mengakui bahwa Isa adalah Nabi yang diutus untuk
mereka. Dan hati musuh juga menjadi tenang karena mereka menyaksikan
kebatilan mereka sehingga pilihan mereka untuk tidak mengikuti Isa
berakibat pada suatu saat mereka akan dimintai pertanggung jawaban.
“Dan supaya
kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami. Yakni kami
mengetahui bahwa engkau utusan Allah. Dan kami menjadi orang-orang yang
menyaksikan hidangan itu. Yakni, kami menyaksikan keesaan Allah dan
risalah dan kenabianmu. Dan bagi orang lain yang tidak menyahsikannya,
maka kami akan menceritakan kepada mereka peristiwa yang terjadi.”
Isa putra Maryam berdoa: ‘Ya
Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit
(yang hari turimnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi
orang-orang yang bersama kavii dan yang datang sesudah kami, dan menjadi
tanda bagi kekuasaan-Mu: beri rezekilah kami dan Engkaulah Pembeti
rezeki Yang Paling Utama.’
Ketika kaum Hawariyin bertanya
kepada Isa bin Maram agar diturunkan makanan dari langit, maka Nabi Isa
berdiri dan meletakkan pakaian dari kulit wol kemudian beliau
melangkahkan kakinya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan
kirinya, lalu beliau menundukkan kepalanya dalam keadaan khusuk dan
tunduk kepada Allab SWT. Kemudian beliau membuka matanya dan menangis
sehingga air matanya membasahi jenggotnya bahkan mencapai dadanya dan
berkata: ‘Ya Tuhan kami, turunhanlah
kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit… Allah berfirman:
‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu.
Lalu turunlah makanan besar dari
celah dua awan: satu awan di atasnya satu awan di bawahnya. Saat itu
manusia melihatnya. Nabi Isa berkata, “Ya Allah jadikanlah makanan ini sebagai rahmat dan jangan menjadi fitnah.”
Lalu turunlah di depan Nabi Isa sapu tangan yang menutupinya kemudian
Nabi Isa tersungkur dalam keadaan sujud yang diikuti oleh kaum
Hawariyin. Mereka mendapati suatu bau yang harum yang belum pernah
mereka temukan sebelumnya.
Nabi Isa berkata, “Siapakah
di antara kalian yang paling ikhlas dan paling percaya kepada Allah SWT
agar ia membuka makanan itu sehingga kita bisa makan darinya serta
berzikir kepada Allah SWT atasnya serta bersyukur kepadanya.” Kaum Hawariyin berkata: “Wahai Ruhullah sesungguhnya engkau lebih berhak daripada kami dalam hal itu.”,
maka Nabi Isa berdiri lalu beliau mengambil wudhu dan salat. Kemudian
beliau banyak berdoa sambil duduk di sisi makanan itu dan membukanya.
Tiba-tiba di atas makanan itu terdapat ikan yang lezat yang tidak ada
durinya. Nabi Isa ditanya: “Wahai Ruhullah, apakah ini makanan dari dunia atau dari surga?” Nabi Isa menjawab: “Bukankah
Tuhan kalian melarang kalian untuk bertanya pertanyaan semacam ini. Ia
turun dari langit dan tidak ada makanan sepertinya di dunia dan ia bukan
berasal dari surga tetapi ia adalah sesuatu yang Allah SWT ciptakan
dengan kekuasaan yang luar biasa di mana Dia cukup mengatakan “jadilah,
maka jadilah.”
Para mufasir berbeda pendapat
sekitar bentuk makanan yang diturunkan kepada Isa, apakah itu ikan atau
daging? Apakah roti atau buah-buahan? Kami memandang bahwa
pembahasan-pembahasan ini kurang penting. Sesuatu yang paling penting
yang perlu kita perhatikan adalah apa yang dikatakan oleh Nabi Isa,
Sesungguhnya ia diciptakan oleh Allah SWT dengan kekuasaan yang
mengagumkan di mana Dia cukup mengatakan “Jadilah, maka jadilah ia.”
Inilah hakikat makanan tersebut.
Ia merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT yaitu suatu tanda yang
Allah SWT mengancam bagi siapa yang menentangnya Dia akan menyiksanya
dengan azab yang belum pernah diterima oleh seseorang pun di dunia. Para
ulama berbeda pendapat apakah makanan tersebut memang diturunkan atau
tidak, tetapi menurut pendapat mayoritas dan ini yang benar makanan
tersebut memang diturunkan, sesuai dengan firman Allah SWT: “Aku akan
menurunkan hidangan itu bagimu. “
Dikatakan bahwa ribuan pengikut
Nabi Isa memakannya dan makanan tersebut tidak habis. Setiap orang yang
buta ia sembuh dari butanya dan setiap orang yang belang ia sembuh dari
belangnya akibat memakan hidangan itu. Alhasil, setelah menyantap
makananitu, orang yang sakit sembuh dari penyakitnya. Maka hari turunnya
makan itu dijadikan hari raya dari hari raya-hari raya kaum Hawariyin
dan para pengikut Nabi Isa. Kemudian berita dan peristiwa turunnya
makanan itu mulai hilang dan mulai dilupakan sehingga kita tidak
menemukan beritanya hari ini di Injil-Injil yang mereka akui. Setelah
peristiwa makanan yang Allah SWT ceritakan dalam surah al-Maidah, Allah
SWT menunjukkan kepada kita sikap lain dari Nabi Isa bin Maryam. Allah
SWT berkata setelah menceritakan kepada kita tentang turunnya mukjizat
makanan dari langit:
“Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa putra Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan
selain Allah!’ Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah
mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang
ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang
gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada rnereka kecuali apa yang Engkau
tiepadaku (mengatakan)nya yaitu: ‘Sembahlah Allah, Tuhanku, dan
Tuhanmu,’ dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di
antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang
mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala
sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah
hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman: ‘lni
adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran
mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-selamanya; Allah ridha terhadap mereka
dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling
besar.’ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di
dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. ” (QS. al-Maidah:
116-120)
Dengan ayat-ayat tersebut,
Al-Qur’an menutup surah al-Maidah. Demikianlah konteks Al-Qur’an
berpindah secara mengejutkan dari turannya makanan kepada sikap atau
dialog antara Allah SWT dan Isa bin Maryam pada hari kiamat. Allah SWT
bertanya pada hari kiamat: ‘Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?’
Para ahli ilmu sepakat bahwa
pertanyaan tersebut bukan bersifat pertanyaan mumi meskipun tampak dalam
bentuk pertanyaan karena Allah SWT mengetahui apa yang dikatakan oleh
Isa. Tentu yang dimaksud dengan pertanyaan itu adalah sesuatu yang lain.
Ada yang mengatakan bahwa Allah SWT bermaksud memberitahu Isa bahwa
kaumnya telah mengubah ajarannya sepeninggalnya. Dan mereka telah
mendapatkan fitnah. Ada lagi yang mengatakan bahwa Allah SWT bermaksud
dari pertanyaan itu untuk mencela orang-orang yang mengubah akidah Nabi
Isa setelah beliau tidak ada. Kami kira pertanyaan tersebut memuat dua
makna dan mencakup makna yang lain.
Allah SWT ingin menyingkap dan
memberitahu manusia dalam Kitab-Nya yang terakhir bahwa Nabi Isa
terlepas dari berbagai macam tuduhan, dan apa saja yang dilakukan
kaumnya sepeninggalnya. Konteks AI-Qur’an menunjukkan tentang peristiwa
gaib yang belum terjadi meskipun akan terjadi pada hari kiamat. Oleh
karena itu, Al-Qur’an menyampaikannya dalam bentuk fi’il madhi (kata
kerja bentuk lampau). Al-Qur’an menyampaikan berita gaib ini kepada
penduduk dunia agar mereka mengetahui hakikat Isa bin Maryam.
Allah SWT bertanya kepadanya dan Isa bin Maryam menjawab. Sebagai nabi besar, Isa tidak menjawab kecuali setelah ia mengatakan: ‘Maha Suci Engkau ya Allah.’ Sebelum
menjawab, Isa memulai dengan tasbih dan menyucikan Allah SWT. Nabi Isa
menampakkan kepatuhan dan ketundukan kepada kemuliaan Allah SWT dan rasa
takut terhadap azab-Nya. Qurthubi menyampaikan dalam tafsirnya:
“Ketika Allah
SWT berkata kepada Isa, apakah engkau berkata kepada manusia jadikanlah
aku dan ibuku tuhan selain Allah, maka Isa tampak gemetar terhadap
perkataan itu sehingga ia mendengar rintihan dari tulang-tulangnya di
dalam jasadnya lalu ia berkata: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Tidak mungkin aku
memutuskan sesuatu yang tidak aku miliki, yang diriku tidak dapat
melakukannya. Aku hanya seorang hamba, bukan seorang yang disembah: Jika
aku pernah mengatakannya maha tentulah Enghau telah mengetahuinya.
Demikianlah Nabi Isa
menyampaikan jawabannya kepada Allah SWT dan ia mengembalikan sesuatu
kepada Allah SWT. Dan Allah SWT Maha Mengetahui terhadap apa yang
dikatakannya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak
mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Yakni, Engkau mengetahui apa
yang aku sembunyikan sedangkan aku tidak mengetahui apa yang engkau
sembunyikan. Engkau mengetahui rahasiaku dan apa yang terlintas dalam
hatiku dan aku tidak mengetahui apa yang Engkau sembunyikan dari ilmu
gaib-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Hanya
Engkau yang tahu terhadap hal-hal yang gaib. Hanya Engkau yang tahu
terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah mereka setelah Engkau angkat
aku dari bumi: ‘Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa
yang Engkau kepadaku (mengatakan)nya yaitu: ‘Sembahlah Allah, Tuhanku,
dan Tuhanmu.’
Demikianlah kalimat-kalimat yang
disampaikan oleh Isa bin Maryam. Dia hanya mengajak manusia untuk hanya
menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya: Dan aku menjadi saksi
terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka.
Sesungguhnya Engkau mengawasi
mereka saat aku tinggal di tengah-tengah mereka dan mengajak mereka ke
jalan yang benar. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang
mengawasi mereka. Al-Wafat dalam Kitab Allah mempunyai tiga bentuk:
Pertama, wafat dalam pengertian kematian, sebagaimana firman Allah SWT:
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.” (QS. az-Zumar: 42)
Yakni ketika tercabutnya ajal. Kedua, bahwa wafat adalah tidur, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari. ” (QS. al-An’am: 60)
Yakni yang menidurkan kalian. Ketiga, wafat berarti pengangkatan, sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai Isa, sesungguhnya Aku yang menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku. ” (QS. Ali ‘Imran: 55)
Demikianlah Isa terbebas dari
apa yang mereka katakan dan apa yang mereka nisbatkan kepadanya. Isa
mengumumkan bahwa dakwahnya tidak lebih dari sekadar ajakan untuk
bertahuid dan tidak keluar dari kerangka Islam yang diakui oleh
pengikutnya. Kemudian Isa kembali menyampaikan pembicaraannya dan
meminta belas kasihan kepada Allah SWT: Jika
Engkau rnenyiksa mereka, makasesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu.
Tidak seorang pun dari makhluk yang mempunyai kekuasaan di atas-Mu dan
tidak ada Pencipta selain-Mu. Maha Suci Engkau dan tiada sekutu bagi-Mu
dalam kerajaan dan kekuasaan. Pada akhirnya, mereka adalah hamba-Mu dan
seorang hamba tidak memiliki apa-apa di hadapan tuannya kecuali
kepatuhan: Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’
Isa tidak mengatakan jika Engkau
mengampuni mereka, maka Engkau Maha Pengampun dan Maha Pengasih. Jadi,
jawaban Isa terfokus pada penyerahan diri dan kepatuhan serta tunduk
kepada kemuliaan Allah SWT dan kebesaran-Nya. Para pengikut Nabi Isa
adalah hamba-hamba Allah SWT yang patuh. Jika Allah SWT berkehendak,
maka Dia akan menyiksa mereka sesuai dengan siksaan yang layak mereka
terima, dan jika Dia berkehendak, maka Dia akan mengampuni mereka karena
Dia mengetahui karena mereka memang layak untuk mendapatkan ampunan.
Dengan penyerahan yang mutlak ini, Isa menyampaikan jawaban atas
pertanyaan Allah SWT dan beliau berlepas diri dari apa yang dikatakan
oleh kaumnya sepeninggalnya. Isa menyampaikan—pada awal
pembicaraannya—bahwa hanya Allah SWT yang patut disembah, dan pada akhir
pembicaraannya Isa menyampaikan penyerahan dirinya kepada Allah SWT.
Allah berfirman: ‘Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang
yang benar kebenaran mereka.
Allah SWT memuji ketulusan Isa, dan karena dialog tersebut terjadi pada hari kiamat, Allah SWT berfirman: “Hari
ini adalah hari kiamat di mana orang-orang yang benar akan dapat
mengambil manfaat dari kebenaran mereka di dunia. Kebenaran mereka di
sana akan mereka temukan balasannya yang berupa rahmat di sini. “Bagi
mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya selama-selamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun
ridha terhadap-Nya. “
Demikianlah balasan orang-orang
yang benar, surga. Dan ada balasan yang lebih baik dari surga, yaitu
kepuasan (ridha) seorang hamba terhadap Allah SWT dan keridhaan Allah
SWT terhadap hamba. Pengertian kepuasaan seorang hamba adalah
kegembiraannya terhadap penyembahan kepada Allah SWT sedangkan
pengertian keridhaan Allah SWT terhadap hamba-Nya adalah rahmat yang
diberikan-Nya kepada mereka: Itulah keberuntungan yang paling besar.’
Setelah itu Allah SWT, memberitahukan hakikat Isa dan seluruh nabi-Nya: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Allah SWT adalah Penguasa satu-satunya dan Dia Pencipta satu-satunya. Selain-Nya adalah hamba.
Isa terus melangsungkan
dakwahnya sehingga kejahatan dan keburukan mengetahui bahwa singgasana
mereka terancam hancur. Lalu pasukan keburukan bergerak untuk
menangkapnya. Orang-orang Yahudi menyakitinya dan menuduhnya dengan
berbagai macam tuduhan. Isa dikatakan sebagai penyihir dan sebagai orang
yang mengubah syariat dan mereka menisbatkan kekuatannya yang luar
biasa kepada kekuatan setan. Ketika mereka tidak lagi memiliki tipu daya
yang dapat melumpuhkan Nabi Isa dan mereka melihat orang-orang yang
lemah dan orang-orang fakir berkumpul di sekitarnya, maka mereka mulai
membikin suatu, makar. Mereka mempengaruhi orang-orang Romawi.
Mula-mula pemerintahan Romawi
tidak turut campur karena menganggap bahwa perselisihan-perselisihan
antara orang-orang Yahudi adalah perselisihan yang terjadi demi
memperebutkan kepentingan sesama mereka. Lalu diadakanlah majelis
Sanhadurim (yaitu majelis undang-undang tertinggi dari kalangan Yahudi).
Mereka berkumpul untuk membuat persekongkolan demi menyingkirkan Isa.
Persekongkolan itu mengambil bentuk yang baru.
Ketika orang-orang Yahudi tidak
mampu memerangi Nabi Isa, mereka berpikir untuk membunuhnya. Mulailah
para ketua pendeta Yahudi bermusyawarah untuk membuat suatu kesimpulan
tentang cara yang mereka lakukan untuk menangkap Nabi Isa yang tidak
menirnbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat.
Ketika para kepala Yahudi
bermusyarah, maka salah seorang dari murid al-Masih yang dua belas pergi
kepada mereka, yaitu Yahuda al-Iskhriyutha. Ia berkata kepada mereka, “Apa yang kalian berikan jika aku berhasil menyerahkannya kepada kalian.”
“Meja
penghianatan telah digelar di antara mereka dan dimulailah perundingan.
Orang-orang Yahudi berusaha mencari titik temu dan mereka sepakat untuk
memberinya tiga puluh lempeng dari perak. Ini adalah harga yang biasa
mereka lakukan untuk membeli seorang budak sesuai dengan syariat
Yahudi.” (penjelasan Injil Mata)
Selesailah konspirasi yang
menetapkan untuk menangkap al-Masih dan kemudian membunuhnya. Dikatakan
bahwa kepala pendeta Yahudi merobek-robek bajunya secara dramatis di
suatu pertemuan agama dan ia berteriak, “sungguh Isa telah kafir.”
Pero bekan baju dalam tradisi orang-orang Yahudi dilakukan ketika
mereka mendengar atau melihat sesuatu yang mengandung penghinaan
terhadap Allah. Para pendeta Yahudi tidak memiliki kekuasaan untuk
menetapkan hukum bunuh pada saat itu. Semua itu dilakukan oleh kekuasaan
penguasa Romawai. Tetapi tampaknya mereka berhasil meyakinkan kekuasaan
Romawi bahwa Isa telah membuat rencana untuk melengserkan kekuasaan
Romawi atau mereka berhasil meyakinkan penguasa Romawi bahwa masalah
yang mereka hadapi murni berkaitan dengan tradisi mereka dan keyakinan
mereka. Kemudian mereka menyarankan agar penguasa tidak turut campur
atas apa yang mereka tetapkan. Demikianlah konspirasi itu telah
ditetapkan dan telah diputuskan bahwa Isa harus ditangkap dan kemudian
disalib.
Empat Injil yang diakui oleh
kalangan Masehi saat ini membicarakan tentang proses pembunuhan Isa di
mana beliau disalib kemudian beliau bangkit dari kematiannya dan naik ke
langit. Semua Injil ini sepakat tentang proses pengyaliban Isa dan
kematiannya, sebagaimana mereka sepakat tentang tabiat Isa yang
mengandung ketuhanan yang bercampur dengan tabiatnya sebagai manusia.
Kami akan menyampaikan keyakinan orang-orang Masehi berkaitan dengan Isa
sebagaimana diyakini oleh mayoritas kaum Nasrani saat ini, kemudian
kami akan mengemukakan keyakinan Islam tentang Isa sebagaimana
diceritakan oleh Al-Qur’an al-Karim dan disampaikan oleh para ulama dan
disebutkan dalam hadis. Setelah itu, kita akan membicarakan hal-hal yang
perlu dibicarakan berkaitan hubungan antara kaum Muslim dan kaum Masehi
serta kaitannya dengan akidah mereka.
Injil Mata mengatakan, “Isa
ditangkap dan majelis Sanhadirum memutuskan bahwa ia harus dibunuh.
Kemudian para anggota mejelis itu dari kepala-kepala para pendeta dan
para tokoh mereka menghinanya dan mengejeknya serta berbuat aniaya
terhadapnya bahkan mereka meludahi wajahnya dan menempelengnya. Sambil mengejek mereka berkata, “beritahukanlah wahai al-Masih siapa yang memukulrnu.” Setelah itu al-Masih ditangkap dan ia ditetapkan untuk dibunuh.
Adalah sudah
menjadi tradisi di kalangan orang-orang Romawi untuk mencambuk orang
yang ditetapkan untuk dibunuh sebelum pelaksaan hukum tersebut. Oleh
karena itu, para penguasa Romawi menetapkan agar al-Masih dicambuk
terlebih dahulu. Sedangkan syariat Musa menetapkan agar cambukan itu
tidak melebihi empat puluh kali, namun orang-orang Romawi tidak berhenti
pada batasan ini bahkan mereka terus mencambuk korban dengan cambukan
yang kejam dan terus-menerus sehingga punggung yang bersangkutan hampir
saja patah dan napasnya nyaris tinggal sedikit. Setelah itu, mereka
mulai melaksanakan hukum bunuh kepadanya. Demikianlah yang dilakukan
oleh tentara terhadap penyelamat kita. (Injil Mata 26)
Selesailah
proses pecambukan, lalu penguasa Romawi menyerahkan Isa kepada tentara
agar mereka menyalibnya. Kemudian para tentara membuat sesuatu hal yang
bermaksud untuk menghibur. Mereka mencabut pakaian Isa yang dilumuri
dengan darah yang ada luka di tubuhnya setelah proses pencabukan, lalu
mereka memakaikan pakaian merah dengan maksud untuk mengejeknya. Para
raja biasanya memakai pakaian merah. Mereka terus menghinanya. Mereka
memakaikannya mahkota dari duri dan meletakkannya di atas kepalanya.
(Injil Mata 26)
Akhirnya,
mereka sampai pada suatu tempat yang bernama Jaljatsah, yaitu suatu
tempat di luar pagar Ursyilim. Tradisi Yahudi menetapkan untuk memberi
satu gelas khamer yang bercampur dengan minyak wangi bagi orang yang
ditetapkan untuk dihukum mati sebelum pelaksanaan hukum. Ini dimaksudkan
sebagai alat pembius untuk meringankan penderitaannya. Tetapi para
tentara menentang tradisi ini dan mereka memberi al-Masih satu gelas
dari cuka yang bercampur dengan sesuatu yang pahit.” (Injil Mata 26)
Teks Injil mata mengatakan (cetakan tahun 1972) pada pasal kedua puluh tujuh:
“Sehingga mereka sampai ke suatu tempat yang bernama Jaljatsah lalu
mereka memberinya minuman keras yang bercampur dengan empedu agar ia
meminumnya. Ketika ia merasakannya, ia enggan untuk meminumnya. Kemudian
mereka menyalibnya. Kemudian mereka duduk di sana menjaganya dan
meletakkan di atas kepalanya suatu tuduhan yang tertulis: Ini adalah
Yasu’, penguasa Yahudi. Mereka benar-benar menyalibnya bersama Yasim.
Salah seorang dari keduanya di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah
kirinya. Lalu orang-orang yang lewat di tempat itu mencelanya dan
berkata, “wahai yang menghancurkan tempat sembahan dan yang membangunnya
pada tiga hari, selamatkanlah dirimu dan jika engkau adalah anak Allah,
maka turunlah dari tempat penyaliban itu.”
Demikianlah sebagian riwayat
kaum Masehi tentang proses penyalipan serta penafsiran mereka berkaitan
dengannya. Kami telah menukilnya tanpa memperhatikan tentang catatan
yang terdapat dalam Injil Mata yang terbaru, yaitu ia merupakan catatan
yang paling baik dalam bentuknya yang terkumpul dari ulama-ulama mereka
dan tokoh-tokoh agama Masehi sehingga ia lebih mudah untuk dipahami dan
lebih sederhana. Kami telah mengemukakan sebagiannya kepada Anda dalam
halaman-halaman ini.
Sementara itu, dalam akidah
Islam disebutkan suatu riwayat yang berbeda dengan riwayat yang ada
dalam Injil-Injil yang terdapat sekarang, baik yang berhubungan dengan
kehidupan akhir yang dialami oleh Isa maupun tabiat Isa yang merupakan
sumber perselisihan setelah pengangkatannya. Al-Qur’an al-Karim
menceritakan bahwa Allah SWT tidak menghendaki Bani Israil untuk
membunuh Isa atau menyalibnya tetapi Allah SWT menyelamatkannya dari
kekufuran mereka lalu mengangkatnya di sisi-Nya. Mereka tidak berhasil
membunuhnya dan tidak berhasil menyalibnya tetapi ia diserupakan seperti
orang-orang di antara mereka. Allah SWT berfirman:
“Dan karena
ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra
Maryam, Rasul Allah,’ padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula
menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh ialah arang yang diserupakan
dengan Isa bagi meeha. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham
tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang
dibunuh itu. Mereka tidah mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh
itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak pula yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah
telah mengangkat Isa kepadanya.” (QS. an-Nisa’: 157-158)
Dan Allah SWT juga berflrman:
“(Ingatlah),
ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan
karnu pada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan
kamu dari orang-orang yang kafir. ” (QS. Ali ‘Imran: 55)
Para ulama-ulama Islam sepakat
atas hal itu dan mereka berselisih pendapat tentang cara beragumentasi
terhadap apa yang mereka yakini sebagai kebenaran. Sebagian mereka
meyakini nas-nas Al-Qur’an saja yang menyebut tentang Isa al-Masih dan
mereka tidak mendukungnya atau memperkuatnya dengan kitab-kitab lain
selain Al-Qur’an. Kedua metode tersebut memiliki titik kekuatan
tersendiri. Orang yang berpegangan dengan pendapat yang pertama
mengatakan bahwa Nabi melarang untuk membahas kitab-kitab pegangan kaum
Yahudi dan kaum Nasrani. Bagi kaum itu agama mereka dan bagi kita agama
kita dan hanya Allah SWT yang akan memutuskan segala perselisihan di
antara kita pada hari kiamat.
Sedangkan orang-orang yang
berpegangan dengan cara yang kedua mengatakan bahwa larangan Nabi
tersebut terjadi pada permulaan masa Islam di mana kaum Muslim sangat
dekat dengan masa jahiliah. Nabi memerintahkan mereka agar tidak
disibukkan dengan kitab-kitab lain selain kitab mereka, yakni Al-Qur’an.
Yang demikian ini dimaksudkan agar mereka memiliki akidah yang kuat dan
keyakinan mereka benar-benar tertanam dalam diri mereka, Tetapi ilmu
dan pandangan ilmiah menetapkan bahwa seorang yang alim harus banyak
menggali kitab-kitab kuno dalam rangka mengetahui kebenaran dan jika ia
mendapati sesuatu yang sesuai dengan apa yang didapatinya dengan
kebenaran, maka hatinya akan lebih merasa tenang dan damai. Berkaitan
dengan kelompok yang pertama yang merasa cukup dengan Al-Qur’an, kita
tidak menemukan perincian-perincian yang mendalam berkenaan dengan usaha
penangkapan Isa, bagaimana proses pengangkatannya ke langit, di mana
Isa diserupakan dengan salah seorang di antara mereka, bagaimana dia
diserupakan dengan salah seorang di antara mereka. Allah SWT telah
menyerupakannya dengan salah seorang di antara mereka sedangkan Nabi Isa
diangkat ke langit.
Demikianlah penjelasan singkat
mereka, tidak ada penambahan lagi. Sedangkan kelompok yang kedua, mereka
melontarkan kisah secara lengkap. Mereka mengatakan bahwa Allah SWT
menyerupakan Isa dengan Yahuda. Yahuda ini adalah Yahuda al-Askhariyutha
yang menurut Injil ia menjualnya kepada musuh-musuhnya dan menunjukkan
kepada mereka tentang keberadaannya. Ia adalah seorang muridnya yang
terpilih. Demikian ini sesuai dengan Injil Barnabas di mana disebutkan
di dalamnya: “Ketika para tentara mendekat
bersama Yahuda di tempat yang di situ terdapat Yasu’, maka Yasu’
mendengar kedatangan segerombolan orang yang menuju tempatnya. Oleh
karena itu, ia segera pergi ke rumah dalam keadaan takut. Di dalam rumah
itu terdapat sebelas orang yang tidur.
Ketika
Allah melihat bahaya akan mengancam hamba-Nya, maka Dia merintahkan
Jibril, Mikail, dan Rafail (Israfil), serta Idril (Izrail) yang mereka
semua adalah para utusan-Nya untuk mengambil Yasu’ dari dunia. Lalu
datanglah malaikat-malaikat yang suci di mana mereka mengambil Yasu’
dari pintu yang dekat dengan arah selatan. Mereka membawanya dan
meletakkannyadi langit yang ketiga dengan disertai para malaikat yang
selalu bertasbih kepada Allah selama-lamanya. Yahuda masuk secara paksa
ke kamar yang di situlah Yasu’ diangkat ke langit. Saat itu murid-murid
sedang tidur semuanya, lalu Allah mendatangkan keajaiban yang luar biasa
di mana Yahuda berubah cara berbicaranya dan juga wajahnya. Ia sangat
mirip sekali dengan Yasu’ sehingga kami mengiranya Yasu’. Adapun ia
(Yahuda) setelah membangunkan kami, ia mencari-cari di mana si guru
berada. Oleh karena itu, kami merasa heran dan kami menjawab, “bukankah
engkau wahai tuanku guru kami, apakah sekarang engkau telah melupakan
kami?” Demikianlah kisah yang terdapat dalam Injil Barnabas. Allah SWT berfirman:
“Al-Masih
putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang Sesungguhnya telah berlalu
sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar,
kedua-duanya biasa memakan makanan.” (QS. al-Maidah: 75)
Para ulama berkata, “Al-Masih
dinamakan al-Masih karena ia mengusap bumi dan membersihkannya serta
usahanya untuk menyelamatkan agama dari fitnah di zaman itu karena
saking hebatnya kebohongan orang-orang Yahudi kepadanya dan bagaimana
usaha mereka untuk menciptakan dusta padanya dan kepada ibunya as.”
Banyak ulama yang meriwayatkan tentang kesucian spiritual dari Nabi
Isa. Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau menceritakan
tentang al-Masih sebagai berikut: “Isa
melihat seorang lelaki yang mencuri lalu ia berkata: “Wahai si fulan
apakah engkau mencuri?” Orang itu berkata: “Tidak, demi Allah aku tidak
mencuri,” Isa berkata: “Aku beriman kepada Allah SWT dan pengelihatanku
telah berbohong.” Ini menunjukkan kesucian ruhani Isa di mana ia lebih
memilih sumpah orang itu atas apa yang disaksikannya. Ia membayangkan
bahwa orang tersebut tidak akan bersumpah dan membawa nama Allah SWT
yang Maha Besar lalu ia berdusta sehingga ia menerima pernyataannya dan
ia kembali kepada dirinya sendiri sambil berkata: “Aku beriman kepada
Allah SWT, yakni aku mempercayaimu dan mataku telah berbohong karena
engkau telah bersumpah.” Ada riwayat lagi yang mengatakan
bahwa suatu hari Nabi Isa berjalan bersama sahabatnya dan mereka
melewati bangkai anjing yang busuk baunya, lalu sahabat-sahabat Isa
sangat terpukul dan sangat menderita dengan bau anjing itu. Melihat
sikap mereka, Isa berkata: “Lihatlah betapa putih giginya.”
Isa ingin mengajari manusia
bagaimana mereka menghadapi keburukan di mana Nabi Isa menekankan agar
mereka lebih melihat kepada keindahan dan kebaikan. Dakwah Nabi Nabi Isa
merupakan puncak dari ketinggian ruhani dan idealisme yang mengagumkan
di mana Beliau lebih menekankan kebaikan daripada keburukan. Rasulullah
berkata: “Semua para nabi adalah saudara,
agama mereka satu sedangkan mereka dilahirkan dari berbagai macam ibu
dan aku adalah manusia yang utama begitu juga Isa bin Maryam di mana
tidak ada nabi setelahku dan sesudahnya.” Dalam berbagai riwayat
disebutkan bahwa Nabi Isa akan turun pada akhir zaman. Islam sangat
memberikan penghormatan kepada Isa yang sesuai dengan kedudukannya
sebagai salah satu nabi ulul azmi yang besar. Islam menamakannya
Rasulullah dan Kalimatullah yang telah diberikan kepada Maryam. Allah
SWT berfirman:
“Wahai ahli
Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah hamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al-Masih Isa
putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang terjadi dengan)
kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh
dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah
kamu mengatakan: ‘(Tuhan itu) tiga.’ Berhentilah dari ucapan itu. (Itu)
lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci
dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah
kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah untuk menjadi Pemelihara. Al-Masih
sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula
enggan) malaikat malaikat yang terdekat (kepada Alah). Barangsiapa yang
enggan dari menyernbah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan
mengumpulkan mereka semua kepadanya. Adapun orang-orang yang beriman dan
berbuat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan
menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang
enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan
siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka,
pelindung dan penolong selain dari Allah. ” (QS. an-Nisa’: 171- 173)
Ibnu Katsir berkata dalam
Qhisasul Anbiya’: Para pengikut Nabi Isa berselisih pendapat setelah
Nabi Isa diangkat ke langit. Sebagian mereka mengatakan, di
tengah-tengah kita ada hamba Allah SWT dan rasul-Nya (Ariyus). Sebagian
lagi mengatakan, dia adalah Allah. Yang lain lagi mengatakan, dia adalah
anak Allah. Mereka berselisih pendapat tentang Injil yang menyebutkan
berbagai kebo hongan di mana terdapat di dalamnya penambahan,
pengurangan, dan pergantian. Al-Qur’an al-Karim telah membahas persoalan
ketuhanan. Ia menjelaskan bahwa Allah SWT Maha Suci dari segala sekutu
dan anak dan segala hal yang menyerupai-Nya serta segala bentuk
ingkarnasi, kejauhan, kedekatan dan pencapaian pandangan mata. Allah SWT
berfirman:
“Katakanlah:
“Dia-lah Allah, YangMahaEsa.’Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepadanya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan,
dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. ” (QS. al-Ikhlash:
1-4)
Dan tentang Isa as Allah berfirman: “Sesungguhnya
misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam.
Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:
‘Jadilah’ (seorang manusia), maka jadilah ia.” (QS. Ali ‘Imran: 59)
“Mereka
(orang-orang kafir) berkata: Allah mempunyai anah.’ Maha Suci Allah,
bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua
tunduk kepadanya. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia
berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan
kepadanya: ‘Jadilah’, lalujadilah ia.” (QS. al-Baqarah: 116-117)
“Orang-orang
Yahudi berkata: ‘Uzair itu putra Allah’ dan orang-orang Nasrani berhata:
Al-Masih itu putra Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut
mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Mereka
dilaknat oleh Allah; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. at-Taubah:
30)
Nas tersebut mengisyaratkan
akidah orang-orang Mesir dan orang-orang seperti mereka dari umat-umat
yang terdahulu di mana akidah mereka terfokus pada keyakinan penyaliban
Isa, tentang tebusan dan kebangkitan Tuhan yang disembelih serta
penentangannya terhadap para pengikutnya setelah kematiannya.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah itu ialah
al-Masih putra Maryam.‘ Katakanlah: ‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat
menghalang-halangi kehendah Allah, jika Dia hendak membinasakan
al-Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang
berada di bumi semuanya?’ Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi
dan apayang ada di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang
dihehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.
al-Maidah: 17)
“Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan: Allah salah seorang dari yang
tiga,’ padahal sekali-kali tidak ada selain dari Tuhan YangEsa.” (QS.
al-Maidah: 73)
Demikianlah Al-Qur’an al-Karim
menyebutkan sikap berbagai aliran yang saling berlawanan yang tumbuh
setelah pengangkatan al-Masih. Al-Qur’an menjelaskan bahwa al-Masih
adalah hamba Allah SWT dan seorang rasul yang diutus kepada Bani Israil.
Kata hamba dan rasul adalah kata yang sangat jelas artinya, adapun yang
dimaksud dengan al-Kalimah dan ar-Ruh, maka kedua kata tersebut perlu
dijelaskan. Kaum Muslim memahami bahwa al-Kalimah adalah petunjuk Allah
SWT yang diberikan-Nya kepada Maryam sedangkan ar-Ruh adalah menunjukkan
atau mengisyaratkan kepada Ruh Kudus, yaitu Jibril as. Allah SWT telah
menguatkannya atau menguatkan Nabi Isa dengan ruh yakni Jibril:
“Dan (ingatlah) ketiha Aku dukung kamu dengan Ruhul Kudus.” (QS. al-Maidah: 110)
Setelah mengemukakan keyakinan
kaum Masehi tentang karakter Nabi Isa dan akhir dari kehidupannya dan
setelah menjelaskan kebenaran yang Allah SWT ceritakan kepada kita
tentang karakter tersebut dan akhir dari kehidupan yang dialami oleh
Nabi Isa, kita ingin mengetahui apa yang harus dilakukan oleh kaum
Muslim dalam hubungan mereka dengan orang-orang Masehi serta keyakinan
mereka. Islam menetapkan atau menyampaikan nas-nas yang jelas yang
mengkhususkan agama Masehi—di antara agama-agama yang lain—dengan
kecintaan. Al-Qu’ran mengingkari ketuhanan al-Masih; ia juga mengingkari
penyaliban dan tebusan dosa yang dilakukannya. Namun Al-Qur’an
menegaskan dalam nasnya bahwa agama Nasrani merupakan agama yang lebih
dekat kecintaannya kepada Islam. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya
kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap
orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya
dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata:
‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.’ Yang demikian itu disebabkan
karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat
pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak
menyombongkan diri.” (QS. al-Maidah: 82)
Allah SWT memuji para pengikut al-Masih yang berjalan di atas petunjuknya. Allah SWT berfirman:
“Dan Kami
jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih
sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyah (keadaan tidak menikah dan
mengurung diri di biara) padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka
tetapi mereka sendirilah yang mengada-adakannya untuk mencarai keridhaan
Allah.” (QS. al-Hadid: 27)
Tidak terdapat kontradiksi dari
dua sikap tersebut. Pengingkaran Al-Qur’an terhadap ketuhanan al-Masih
dan pengakuannya terhadap kecintaan kaum Nasrani serta pujiannya
terhadap orang-orang yang mengikuti Nabi Isa mengandung makna lebih dari
satu: Pertama, bahwa Masehi berdasarkan pada agama Tauhid dan sangat
sulit bagi para pengikutnya untuk meninggalkan tauhid, dan hanya Allah
SWT yang mengakui hakikat apa yang terpendam dalam hati; kedua, dalam
kalangan orang-orang Nasrani terdapat para pendeta dan para rahib yang
tidak bersikap congkak di hadapan Allah SWT tetapi mereka sangat patuh
dan tunduk kepadanya; ketiga, sebagian pengikut Nabi Isa memiliki hati
yang dipenuhi dengan kasih sayang dan rahmat. Tentu rahmat dan kasih
sayang tersebut tidak tumbuh kecuali dari keimanan terhadap hari akhir.
Allah SWT telah menetapkan perintah-Nya kepada kaum Muslim agar mereka
memperlakukan ahlul kitab dengan perlakuan yang mulia dan baik,
sebagaimana Islam menjamin kebebasan untuk menentukan keyakinan pada
setiap manusia. Allah SWT berfirman:
“Dan jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus: 99)
“Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang salah.” (QS. al-Baqarah: 256)
“Katakanlah:
‘Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidah kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun
dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada
mereka: ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan
diri (kepada Allah).’” (QS. Ali ‘Imran: 64)
Kita perhatikan bahwa ayat-ayat
tersebut berbicara tentang cara memperlakukan kaum Masehi sebagai
individu sebagaimana ia berbicara tentang bagaimana kita memperlakukan
keyakinan mereka. Sehubungan dengan kaum Masehi sebagai individu, kita
menyaksikan ayat-ayat tersebut memerintahkan untuk membalas kecintaan
yang mereka perlihatkan di mana nas tersebut dengan tegas mengatakan
bahwa mereka lebih dekat kecintaannya kepada orang-orang yang beriman.
Jika Allah SWT yang menegaskan hal tersebut, maka orang-orang Muslim
harus membalas kebaikan dan kecintaan yang ditunjukkan oleh kaum
Nasrani. Adapun sehubungan dengan keyakinan mereka, di dalam Al-Qur’an
terdapat banyak ayat yang melarang untuk memaksa manusia dalam bentuk
apa pun. Allah SWT berfirman:
“Dan
katakanlah: ‘Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang
ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir
biarlah ia kafir.” (QS. al-Kahfi: 29)
Yang demikian itu, karena
keimanan yang didahului dengan paksaan adalah bukan keimanan karena ia
berarti mencabut ikhtiar atau kebebasan manusia, padahal itu adalah
syarat dari keimanan. Dan barangkali inilah yang menunjukkan kesempumaan
Islam dilihat dari sikapnya yang demikian indah. Kami kira tanpa kita
harus memaksakan tafsiran kita kepada ayat-ayat tersebut dan memohon
kepada Allah SWT dari kesalahan dan kebodohan bahwa Islam dengan
sikapnya itu ingin menjauhkan para pengikutnya dari kalangan awam dari
perdebatan yang panjang dan melelahkan seputar keyakinan orang lain.
Tentu perdebatan tersebut tidak akan berujung dan akan menjadi seperti
debat kusir saja. Namun tugas tersebut hanya diemban oleh para ulama, di
mana mereka membahas sebagaimana mereka kehendaki berbagai
keyakinan-keyakinan keberagamaan, sedangkan orang-orang awam tidak
diberi tanggung jawab dalam hal itu. Lagi pula, perselisihan antara
keyakinan dan aliran-aliran di kalangan Masehi dan kalangan Yahudi jika
melibatkan orang-orang awam, maka itu hanya memboroskan waktu dan hanya
membuat lelah saja.
Islam akan kembali menjadi asing
dan akan kembali menjadi asing seperti pertama kali terbit. Dalam
suasana keasingan Islam yang pertama, orang-orang Muslim berhasil
membangun suatu individu Muslim yang kokoh. Dan ketika bangunan tersebut
telah selesai, maka sempurnalah pembangunan pemerintahan Islam. Kita
tidak mendengar bahwa salah seorang di antara mereka terlibat dalam
perdebatan yang sengit yang tidak berujung sekitar keyakinan orang lain.
Sesungguhnya memberi petunjuk kepada orang lain sehingga orang tersebut
engetahui jalan menuju Allah SWT adalah perbuatan yang indah, tetapi
hidayah tersebut didahului dengan tekad seseorang untuk memberikan
petunjuk kepada dirinya sendiri. Seandainya orang-orang Islam membimbing
mereka menuju jalan Allah SWT niscaya Allah SWT memberi petunjuk
melalui mereka siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya.
Al-Qur’an menetapkan dua
mukjizat kepada Nabi Isa yang tidak disebutkan dalam kitab Injil:
pertama mukjizat yang berupa pembicaraannya saat ia masih menyusui
dibuaian. Dan yang kedua mukjizat makanan yang turun dari langit kepada
kaum Hawariyin. Sebagaimana Al-Qur’an menetapkan kemuliaan yang
diperoleh oleh Nabi Isa saat ia diselamatkan dari tangan-tangan jahat
orang-orang Yahudi yang ingin menyiksanya atau membunuhnya sehingga Nabi
Isa terselamatkan dan dia diangkat ke langit. Rasulullah saw
mewasiatkan kepada sahabatnya agar mereka memperlakukan orang-orang
Masehi dengan penuh kebaikan, bahkan beliau menikahi Maria al-Qibthiya.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang lelaki dari Bani
Salim bin Auf yang bernama al-Hasin mempunyai dua orang anak yang masih
Kristen, lalu ia masuk Islam dan bertanya kepada Rasulullah saw
bagaimana seandainya ia harus memaksa kedua anaknya untuk memeluk Islam
sedangkan mereka berdua menolak agama lain selain agama Masehi? Kemudian
Allah SWT menurunkan ayat yang berbunyi:
“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam).” (QS. al-Baqarah: 256)
Ketika para utusan Najran dari
kalangan kaum Masehi datang ke Madinah untuk berunding dengan Nabi, maka
beliau memberi mereka setengah dari mesjidnya agar mereka dapat
melaksanakan salat dengan cara mereka di dalamnya. Pada suatu hari
Rasulullah saw berdiri untuk melakukan salat kepada seseorang jenazah
lalu dikatakan kepadanya bahwa ia adalah jenazah Yahudi. Kemudian
Rasulullah menjawab: “Bukankah ia adalah manusia.” Dalam kesempatan lain Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang mengganggu secara aniaya seorang Yahudi atau seorang Nasrani, maka aku akan jadi musuhnya pada hari kiamat.” Terkadang
kekuasaan akan langgeng meskipun disertai dengan kekufuran tetapi ia
tidak akan abadi ketika disertai dengan kelaliman.
Para ulama Islam berselisih
pendapat berkaitan dengan keadaan Nabi Isa setelah pengangkatannya.
Mereka sepakat bahwa beliau tidak disalib tetapi Allah SWT mengangkatnya
di sisi-Nya. Tetapi ketika ia tidak disalib, maka bagaimana keadaannya
setelah itu: apakah ia masih hidup, ataukah ia mati seperti matinya nabi
yang lain? Mayoritas mengatakan bahwa Allah SWT mengangkat Isa dengan
fisiknya dan ruhnya di sisi-Nya. Mereka mengambil zahir dari firman-Nya:
“Tetapi Allah mengangkatnya di sisi-Nya.” (QS. an-Nisa’: 158)
Juga sebagian hadis yang
mendukung hal tersebut. Sementara itu, kelompok yang lain dari kalangan
mufasirin, dan ini adalah kelompok yang minoritas, mereka mengatakan
bahwa Nabi Isa hidup sehingga Allah SWT mematikannya sebagaimana Dia
mematikan nabi-nabi-Nya lalu Dia mengangkat ruhnya di sisi-Nya
sebagaimana ruh para nabi diangkat, begitu juga ruh para shidiqin
(orang-orang yang benar) dan syuhada. Mereka mengambil zahir firman-Nya:
“(Ingatlah)
ketika Allah berfirman: ‘Hai ha, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu
kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan
kamu dari orang-orang yang kafir.” (QS. Ali ‘Imran: 55)
Kami sendiri lebih memilih
pendapat yang pertama karena ia sangat sesuai—sebagai mukjizat yang luar
biasa—dengan kelahiran Isa di mana kelahiran tersebut dipenuhi dengan
mukjizat yang luar biasa, juga sesuai dengan kehidupannya dan
kesuciannya. Jadi, kedua-duanya merupakan mukjizat yang luar biasa.
0 komentar:
Post a Comment