JAKARTA, KOMPAS - Presiden
Joko Widodo menjadikan Badrodin Haiti, Wakil Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, sebagai Pelaksana Tugas Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia mendatangkan banyak catatan. Ada apresiasi, tetapi
ada juga sejumlah pertanyaan besar mengiringi.
Konsekuensi yang memang
harus diterima karena langkah yang diambil sebelumnya memang kurang pas.
Presiden telah memilih mengajukan secara tunggal Budi Gunawan (BG),
sosok yang kemudian terbukti ada masalah. Ada kesempatan untuk menarik
pencalonan ini, tetapi tidak dilakukan Presiden. Situasi ini semakin
sengkarut akibat cara DPR memperlakukan usulan ini. Logikanya, DPR harus
menjadi pihak yang mengingatkan dalam kapasitas sebagai pengawas
eksekutif. Namun, walau telah ditetapkan sebagai tersangka, DPR tetap
menyatakan BG fit dan proper untuk diangkat menjadi Kapolri. Padahal,
dengan menjadi tersangka di KPK, yang berarti akan menjadi pesakitan di
pengadilan, sudah mengindikasikan ketidaklayakan seseorang sebagai
Kapolri.
Mencari solusi
Posisi sudah saling mengunci
saat ini. Dengan "mengambangkan" pengangkatan BG, pada hakikatnya
Presiden berseberangan dengan apa yang diinginkan DPR. Namun, pada saat
yang sama, ada banyak pertanyaan, termasuk sampai kapan BG diambangkan?
Sampai kapan Wakapolri menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri? Tahapan
awal yang dilakukan Presiden dan DPR seakan-akan sudah selesai.
Tak mungkin lagi Presiden menolak. Dia dihadapkan pada pilihan sulit.
Setidaknya, ada dua pilihan yang berseberangan secara diametral yang
dihadapi Jokowi. Pertama, tak melanjutkan pencalonan BG. Dengan tidak
melanjutkan pencalonan BG, ada banyak pilihan jalan yang tersaji, tetapi
akan mendatangkan konsekuensi berbeda.
Misalnya, tetap mengambangkan BG dan memilih melanjutkan Badrodin
sebagai Plt Kapolri. Namun, ini tentu saja jauh dari ideal karena
banyaknya kerja-kerja Kapolri yang harus diambil dalam kapasitas Kapolri
dan bukan selaku Plt yang memang pada hakikatnya memiliki keterbatasan
bertindak atas nama Kapolri. Artinya, pada langkah pertama ini Presiden
lebih baik memilih menguatkan moral dan etika publik dengan tak melantik
BG, lalu mengajukan calon baru dengan menggunakan mekanisme Pasal 11
Ayat 1 dan 2 yang kemudian kembali ke proses persetujuan di DPR.
Sesungguhnya, pada langkah ini bukan hanya alasan etika yang menjadi
pertimbangan. Ada fondasi "kecil" hukum, yakni itikad Presiden mengisi
dan menghindari stagnannya pemerintahan karena suatu kondisi. Tindakan
ini semacam diskresi administratur sebagaimana diatur di Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Tidak hanya itu,
tindakan ini juga menegakkan prinsip penyelenggara negara yang bersih
dan bebas dari KKN sebagaimana dikembangkan di Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999.
Namun, bukan berarti tanpa kritik. Langkah ini dapat dinilai beragam. Bisa dianggap ketidakpatuhan Jokowi
atas UU Polri atau pembangkangan Presiden atas persetujuan yang telah
dikeluarkan DPR. Namun, lewat langkah ini, Presiden akan mendapatkan
dukungan moral publik yang lebih kuat.
Pilihan kedua, meneruskan pelantikan BG. Namun, setelah dilantik,
demi menjaga semangat pemberantasan korupsi di publik, Presiden dapat
langsung memberhentikannya dengan alasan-alasan yang memang dimungkinkan
dalam penjelasan pasal-pasal di UU Polri. Presiden dapat memilih
memberhentikan BG setelah pengangkatannya dengan mekanisme yang tersedia
di dalam UU Polri.
Dalam hal ini, Presiden dapat langsung memberhentikan BG dengan
pemberhentian definitif seperti diatur Pasal 11 Ayat 2 atau
pemberhentian sementara seperti diatur Pasal 11 Ayat 5. Artinya,
Presiden bisa memilih antara mengajukan Kapolri definitif baru
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat 1 dan 2 atau Plt Kapolri yang
tunduk pada aturan Pasal 11 Ayat 5. Baik calon baru maupun Plt harus
dikirimkan konfirmasinya ke DPR.
Langkah kedua ini lebih fit ke aturan hukum, tetapi sangat deras
menggerus moral publik yang sedari awal menuntut negara tak boleh
melantik pejabat negara yang melakukan korupsi. Di jalur ini, boleh jadi
pertanyaan politiknya jauh lebih kecil, tetapi Presiden akan dihadapkan
pada kritikan publik.
Pilihan antinomis
Pada titik inilah Presiden Jokowi harus memilih. Pilihan hukum,
secara teoretis, memang sering memberikan nuansa membingungkan karena
ada "penyakit" hukum bernama antinomi. Antinomi adalah pertentangan yang
mendera hukum karena adanya dua hal yang bertentangan, tetapi harus
dijaga oleh hukum secara bersamaan. Moral publik yang dalam konsepsi
hukum Grotius adalah sesuatu yang harus dijaga, tetapi pada saat yang
sama kepastian hukum proses pelantikan telah disepakati Presiden dan DPR
sebagaimana tertera di UU Polri.
Posisi pilihan yang tentunya tidak sederhana. Wolfgang Friedmann
menyebutkan, pertentangan antinomi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan terjadi sebagai akibat dari posisi alamiah hukum itu
sendiri, yang berdiri di antara nalar filsafati dan kebutuhan praktis
politik yang penat kepentingan. Dan, pada titik itulah Presiden harus
segera mengambil langkah untuk tak memperpanjang debat publik yang sudah
mulai ngawur dan melangkah terlalu jauh hingga ke isu impeachment.
Di sinilah kenegarawanan Presiden dibutuhkan. Ambillah langkah antara
pilihan satu dan pilihan dua yang bisa jadi adalah simalakama, tetapi
paling tidak menuju ke jawaban permasalahan. Apa pun langkah Presiden
harus diikuti dengan tindakan penegas agar siapa pun di negeri ini paham
dengan posisi Jokowi yang sesungguhnya dalam relasi penegakan hukum
anti korupsi.
Baik pilihan pertama maupun kedua mendatangkan konsekuensi, Presiden
akan memilih orang baru. Oleh karena itu, proses yang lebih baik dari
ketika mencalontunggalkan BG harus dilakukan. Libatkan KPK, PPATK, dan
lembaga penting lain. Presiden juga dapat mengingatkan institusi Polri
agar tak melawan KPK secara kelembagaan. Melakukan pra-peradilan atas
KPK secara kelembagaan tentu hal aneh mengingat tuduhan terhadap BG
adalah individual dan bukan terhadap institusi Polri. UU Polri jelas
menyatakan Polri berada di bawah Presiden. Dengan membiarkan Polri
melakukan perlawanan institusional atas KPK hanya akan menampar muka
Presiden Jokowi yang sejak awal telah menegaskan itikadnya untuk
memperkuat penegakan hukum anti korupsi di negeri ini.
Catatan bagi siapa pun yang tidak menginginkan sengkarut ini
berlanjut, sesungguhnya yang dibutuhkan adalah kenegarawanan kepada
siapa pun yang terlibat di dalam sengkarut ini, termasuk untuk BG
sendiri. Andai BG mau menegakkan etika publik bahwa siapa pun yang
berstatus tersangka harus mau mundur dari jabatan dan pencalonan,
sesungguhnya sebagian besar dari sengkarut ini akan selesai. Jika BG
mundur, amat sangat meringankan posisi antinomis yang dihadapi Jokowi
dan DPR yang terlibat dalam sengkarut ini. Presiden dan DPR harus duduk
bersama. Polri juga harus menyadari pentingnya dorongan penyelesaian
persoalan ini. Tindakan tak penting dan tidak pas hanya akan memperkeruh
situasi.
0 komentar:
Post a Comment