KOMPAS.com - Saat ini, berkendara di sebagian
kawasan Jakarta dan sekitarnya menjadi siksaan tersendiri. Banyak jalan
rusak yang berpotensi mencelakakan setiap orang yang melewatinya.
Jalan rusak tidak terjadi tahun ini saja. Tahun lalu, tahun
sebelumnya, hingga 10 tahun silam pun kerusakan jalan terjadi, terlebih
saat musim hujan tiba dan banjir melanda.
Di awal tahun ini, kawasan Jabotabek panen jalan rusak meskipun
banjir berlangsung relatif lebih singkat dibandingkan dengan musim hujan
sebelumnya. Di Jakarta, banjir merendam sebagian kawasannya selama 2-3
hari di awal Februari. Di Bekasi, Bogor, dan Tangerang Raya pun tidak
jauh berbeda.
Jalan dengan kerusakan cukup parah, misalnya Jalan Raya Hankam,
Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi. Sejumlah warga RW 005 Kelurahan
Jatimurni berinisiatif memperbaiki beberapa titik jalan rusak yang kerap
mencelakai pengguna kendaraan, terutama sepeda motor, dalam sebulan
terakhir.
”Selama ini, tidak pernah diperbaiki sama pemerintah. Padahal, korban
sudah banyak. Malah sekitar beberapa minggu yang lalu ada pesepeda
motor sampai patah tulang,” kata Syahroni (44), warga RW 005 yang ikut
memperbaiki jalan.
Lubang di Jalan Hankam ini ada yang berdiameter 1,5 meter dan kedalaman 30 sentimeter.
Kepala Bidang Bina Marga Dinas Bina Marga dan Tata Air Kota Bekasi
Arief Maulana mengatakan, ada 400 titik jalan rusak yang tersebar di
wilayahnya. ”Jumlah sama, tetapi kerusakannya lebih parah dibanding
minggu lalu. Lubang kecil sekarang membesar,” katanya.
Arief menambahkan, perbaikan sejumlah titik jalan rusak di jalan
utama, seperti Jalan Raya Hankam, akan diprioritaskan. Paling telat
Juni-Juli ini karena menunggu proses lelang proyek.
Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang mencatat, sampai akhir Desember
2014, jalan sepanjang 2,44 kilometer (0,7 persen) rusak dari total
panjang jalan 304,477 km dengan jumlah ruas jalan 257 ruas.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Nana Tristyana mengatakan,
perbaikan menyeluruh akan dilakukan mulai Maret 2015. Sebelumnya, akhir
tahun 2013, kerusakan jalan meliputi rusak berat dan rusak ringan.
Jalan rusak terjadi di 5,5 km dari total panjang jalan provinsi, yaitu
27,4 km. Sementara jalan nasional yang ada di Kota Tangerang sepanjang
16,2 km, sepanjang 3,2 km di antaranya rusak.
Drainase dan tonase
Di setiap wilayah di
Jabodetabek, pemeliharaan dan perbaikan jalan rusak ibarat proyek abadi
yang setiap tahun menghabiskan anggaran daerah. Di Kabupaten Bogor,
setiap tahun, lebih dari Rp 100 miliar dihabiskan untuk pemeliharaan dan
perbaikan jalan.
Meski dipelihara dan kerusakan diperbaiki setiap tahun, 1.700 km
panjang jaringan jalan di Kabupaten Bogor tidak pernah seluruhnya mulus.
Lihatlah kondisi Jalan Raya Mayor Oking dan Jalan Raya Gunung Putri
yang di kiri kanan jalan dipenuhi deretan bangunan besar sampai pabrik.
Sampai Sabtu (21/2), di ruas tengah Kabupaten Bogor itu masih banyak
dijumpai lubang berdiameter 20-60 cm dan berkedalaman 10-20 cm.
Jalur itu mudah rusak sangat diyakini karena kerap dilintasi truk
yang mengangkut beban amat berat. Ruas itu amat padat hilir mudik truk
kontainer sampai truk tronton pengangkut semen. Jalur padat pabrik ini
terhubung dengan Jalan Tol Jakarta-Bogor-Ciawi.
Selain pelanggaran tonase, penyebab lainnya adalah kondisi drainase
kurang baik. ”Luar biasa kemacetan di jalan itu dan pelbagai ruas akibat
kerusakan,” kata Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Bogor Ajun
Komisaris Bramasetyo Priaji.
Kepala Seksi Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Dinas Bina Marga dan
Perairan Kabupaten Bogor Agus Rezeki Nusantara menuturkan, pihaknya ada
rencana memperbaiki jalan rusak sepanjang 1.331 km yang mencakup 476
ruas atau lokasi. Anggaran perbaikan pada 2015 senilai Rp 109 miliar.
Panjang jalan rusak yang akan diperbaiki pada 2015 berkurang
dibanding pada 2014. Tahun lalu, yang diperbaiki sepanjang 1.396 km
jalan rusak dengan anggaran Rp 124 miliar.
Di Kota Tangerang Selatan, warganya dipusingkan dengan jalan yang
rusak parah yang tidak segera diperbaiki. Ruas jalan seperti Otto
Iskandar Dinata, Dewi Sartika, Siliwangi, Padjajaran, dan Serpong Raya
penuh kubangan.
”Sebagai warga Tangsel, kami merasa diabaikan oleh pemerintah. Kami
tak peduli siapa yang memperbaiki, pemerintah pusat, provinsi, atau
pemerintah kota. Yang penting bagi warga jalan mulus,” kata Jossie (43),
warga perumahan di Jalan Otto Iskandar Dinata, Pamulang.
Menurut Jossie, jalan yang berada di perbatasan Ciputat- Pamulang itu
memang beberapa kali diperbaiki. Namun, hanya menambal lubang yang ada.
Sistem drainase yang ada tidak pernah diperbaiki.
Kerusakan parah Jalan Otto Iskandar Dinata itu selalu berulang di
lokasi yang sama, yakni dari depan Rumah Sakit Sari Asih hingga
menjelang samping tanggul Situ Sasak Tinggi, sepanjang sekitar 200
meter.
Kerusakan lain yang sangat parah terjadi di Jalan Siliwangi.
Audit fisik dan pekerja
Menanggapi jalan yang
dibiarkan rusak, pengamat kebijakan publik dari UIN Syarif
Hidayatullah, Jaka Badranaya, mengatakan, kondisi ini sangat merugikan
warga.
”Pembangunan yang jauh dari ideal mengakibatkan kepuasan publik
terhadap pemerintah tidak tercapai. Masalah baru muncul, seperti jalanan
makin rusak, tidak dikontrol, sehingga menimbulkan kemacetan dan
kecelakaan,” kata Jaka.
Jaka menjelaskan, jalan rusak akan memicu kemacetan, atau mobilitas warga terhambat, otomatis perekonomian terhambat.
Ahli transportasi Universitas Katolik Soegijapranata yang juga
anggota Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno,
mengatakan, kerusakan terus- menerus pada ruas-ruas jalan di Ibu Kota
dan kawasan sekitarnya diyakini berawal dari rencana kerja pembangunan
yang tidak tepat benar.
”Menurut saya, dari penganggaran harus lebih jelas karena bibit korupsi bisa dimulai dari sana,” kata Djoko.
Biaya besar dibutuhkan karena mengacu pada data Dinas PU DKI Jakarta
tahun 2010, per meter persegi jalan rusak butuh dana Rp 100.000.
Penetapan angka
Dengan sistem e-budgeting
yang berlaku sekarang, masalah keterbukaan anggaran bisa dikontrol,
tetapi perlu audit lebih dalam agar kualitas fisik jalan terjamin.
Audit yang diperlukan, yaitu dari aspek fisik ruas aspal atau beton
atau paving dan aspek tenaga kerja dari tenaga kasar di lapangan sampai
tenaga ahlinya.
”Ketebalan aspal yang harusnya sekian sentimeter, apa benar di
lapangan segitu? Sistem drainase apa sudah dikerjakan bersamaan dengan
pembangunan jalan? Harus ada tim audit independen sehingga bisa lugas
menemukan fakta serta melaporkannya untuk ditindaklanjuti,” katanya.
Selain itu, audit tenaga kerja juga penting. ”Jangan-jangan di
perencanaan dikatakan ada tiga shift pekerja untuk pengerjaan jalan 24
jam, ternyata cuma ada dua shift. Anggaran untuk membeli helm pekerja
atau rompi serta uang makan yang memadai mungkin tidak semua
dibelanjakan. Bagaimana mau kerja benar kalau fasilitasnya dikurangi,”
katanya.
Di Kementerian Pekerjaan Umum, yang diyakini Djoko juga diterapkan di
dinas ataupun suku dinas pekerjaan umum di tiap daerah, sudah ada
standar pelayanan minimum (SPM) untuk setiap jenis pekerjaan konstruksi.
Jika saja SPM tersebut dipatuhi, kerusakan jalan berulang pasti dapat
dihindari. Triliunan rupiah dari pajak rakyat pun bisa dianggarkan untuk
program lain yang lebih bermanfaat. (ILO/PIN/BRO/RAY/NEL)
0 komentar:
Post a Comment