SUPARNO, namanya singkat. Lelaki itu berjenggot dengan
tatapan nanar namun sejatinya berhati kordial. Bahkan, dia suka
berkelakar. "Nah, saya ini premannya preman, lho," ujarnya. "Saya ini
juru kunci Tambora ha... ha... ha..."
Sepintas jenggotnya
mengingatkan saya tentang sosok Kapten Haddock di seri petualangan
Tintin karya Herge yang sohor. Bedanya, sepanjang yang saya kenal, Parno
tidak gemar minum alkohol.
"Asal saya dari Pati," ujar Parno
dengan logat Jawa. Sejak satu dasawarsa lebih, dia telah menjabat
sebagai kepala kebun kopi di Afedeling Besaran. Meskipun berperawakan
kekar dan bertampang sangar, hobi sejatinya jauh dari keangkeran
sosoknya: memasak. Siang itu dia tengah sibuk di dapur rumah dinasnya,
sebuah vila kayu yang dibangun pada 1930-an.
Warga menyebutnya
dengan Rumah Atas, yang berada di perkebunan kopi Afdeling Besaran. Saya
dan fotografer Dwi Oblo bermalam di rumah tua itu.
Parno adalah
fenomena. Dia lebih dari sekedar tuan rumah. Setiap hari Sang Kepala
Kebun itu menyiapkan teh dan kopi. Pagi hari, dia menjelma sebagai chef
untuk sarapan, meracik santapan makan siang dan makan malam. Ketika
siang, Sang Kepala Kebun itu merangkap pemandu jalan untuk kami.
Sementara
pada malam hari, Parno merangkap juga sebagai penjaga malam. "Kita
masak tumis pakis ya," ujarnya sembari merajang bawang merah. "Sejak
kecil saya memang sudah senang memasak."
Dia menyiapkan bumbu di
atas telenan: bawang merah, bawang putih, cabai rawit. Sementara kacang
panjang, tomat, toge, dan pucuk pakis yang masih muda telah siap diolah.
"Tumis di Jawa itu bumbu bawang merah dan bawang putihnya dirajang,"
ungkapnya. "Kalau di sini (Tambora) tumis ditumbuk."
Dia tertawa
lebar ketika saya berkelakar bahwa sesangar Parno pun, air matanya bisa
berlinang jika mengiris bawang merah. Parno meracik masakan sembil
bersenandung lirih lagu "Gugur Bunga". Entah mengapa dia kerap
bersenandung lagu-lagu melankolis. Mungkin sosok Parno mengingatkan saya
tentang ungkapan "lelaki bertampang sekuriti, namun berhati Hello
Kitty"
"Silakan makan," ujarnya ramah. Masakan tumis pakis
menguarkan aroma mengundang hasrat lapar. Disajikan bersama telur dadar,
mie goreng instan, dan ikan. Sambil bersantap, dia mengisahkan awal
karirnya yang bermula sebagai keamanan seluruh afdeling perkebunan kopi
di Tambora pada 1978.
Perkebunan ini terhampar di Desa Oibura,
Tambora, Kabupaten Bima. Hindia Belanda mewariskan tiga afdeling di
pinggang Gunung Tambora yang total luasnya sekitar 500 hektar.
Tumis
pakis ala Parno membuat lidah menari-nari. Cabai rawit yang terselip di
antara kacang panjang dan pakis menjadi kejutan bersantap nan lezat.
Ini kali pertama saya merasakan tumis pakis, hidangan yang awalnya saya
tidak tega untuk menyantapnya karena mengingatkan tanaman hias
kegandrungan ibu saya di pekarangan rumahnya
0 komentar:
Post a Comment